EPISTEMOLOGI KOMUNIKASI

 

MAKALAH FILSAFAT DAN ETIKA KOMUNIKASI

EPISTEMOLOGI KOMUNIKASI


Dosen Pengampu :

Dr. Nuriyati Samatan, Dra., M.Ag

 

Disusun Oleh Kelompok 2 - 9 IK 01 :

1.      Ferta 

2.      Fitrah Nur Islamiah 

3.      Nurhadi 

 

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS GUNADARMA

2022


KATA PENGANTAR

       Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan petunjuk-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Filsafat dan Etika Komunikasi (Epistemologi) dengan baik.

Penulis ucapkan terima kasih kepada :

1.            Dr. Nuriyati Samatan, Dra., M.Ag selaku Dosen Pengampu,

2.            Orangtua yang sudah memberikan dukungan kepada penulis,

3.            Serta teman-teman yang sudah membantu penulis dalam penyelesaian Makalah ini.

Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya untuk kami dan umumnya untuk para pembaca.

 

Depok, 10 Juli 2022

     Penulis

 

 DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................................i

KATA PENGANTAR.......................................................................................ii

DAFTAR ISI.....................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1

1.1   Latar Belakang...............................................................................1

1.2   Rumusan Masalah..........................................................................5

1.3   Tujuan Pembuatan Makalah...........................................................6

1.4   Manfaat Pembuatan Makalah.........................................................6

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................7

            2.1 Konsep Dasar Epistemologi............................................................7

            2.2 Ilmu Pengetahuan dan Metodologi Riset........................................9

            2.3 Sumber, Metode, dan Analisis……....……...................................12

            2.4 Epistimologi Komunikasi Sebagai Disiplin Berpikir Menghasilkan Teori Komunikasi.............................................................................................17

            2.5 Paradigma Pendekatan Komunikasi..............................................20

            2.6 Sejarah Perkembangan Ilmu Komunikasi.....................................20

            2.7 Teori Komunikasi..........................................................................32

            2.8 Proses Pembentukan, Pengenalan dan Penyelesaian Persoalan....34

            2.9 Metode Utama Ilmu Komunikasi..................................................35

           

BAB III PENUTUP..........................................................................................42

DAFTAR PUSTAKA


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

       Sejarah filsafat tidak selalu lurus terkadang berbelok kembali ke belakang, sedangkan sejarah ilmu selalu maju. Dalam sejarah pengetahuan manusia, filsafat dan ilmu selalu berjalan beriringan dan saling berkaitan. Filsafat dan ilmu mempunyai titik singgung dalam mencari kebenaran. Ilmu bertugas melukiskan dan filsafat bertugas menafsirkan fenomena semesta, kebenaran berada disepanjang pemikiran, sedangkan kebenaran ilmu berada disepanjang pengalaman. Tujuan berfilsafat menemukan kebenaran yang sebenarnya. Jika kebenaran yang sebenarnya itu disusun secara sistematis, jadilah ia sistematika filsafat. Sistematika filsafat itu biasanya terbagi menjadi tiga cabang besar filsafat, yatu teori pengetahuan, teori hakikat, dan teori nilai.

       Ilmu pengetahuan sebagai produk kegiatan berpikir yang merupakan obor peradaban dimana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup lebih sempurna. Bagaimana masalah dalam benak pemikiran manusia telah mendorong untuk berfikir, bertanya, lalu mencari jawaban segala sesuatu yang ada, dan akhirnya manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Pada hakikatnya aktifitas ilmu digerakkan oleh pertanyaan yang didasarkan pada tiga masalah pokok yakni: Apakah yang ingin diketahui, bagaimana cara memperoleh pengetahuan dan apakah nilai pengetahuan tersebut. Kelihatannya pertanyaan tersebut sangat sederhana, namun mencakup permasalahan yang sangat asasi. Maka untuk menjawabnya diperlukan sistem berpikir secara radikal, sistematis dan universal sebagai kebenaran ilmu yang dibahas dalam filsafat keilmuan (Am. Saefuddin, 1998:31).

       Epistemologi selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji karena disinilah dasar-dasar pengetahuan maupun teori pengetahuan yang diperoleh manusia menjadi bahan pijakan. Konsep-konsep ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dewasa ini beserta aspek-aspek praktis yang ditimbulkannya dapat dilacak akarnya pada struktur pengetahuan yang membentuknya. Dari epistemologi, juga filsafat dalam hal ini filsafat modern terpecah berbagai aliran yang cukup banyak, seperti rasionalisme, pragmatisme, positivisme, maupun eksistensialisme dan lain-lain.

       Epistemologi dari bahasa yunani episteme (pengetahuan) dan Logos (ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang Filsafat (Nyong Eka Teguh, 2015:47), misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungan dengan kebenaran dan keyakinan.

       Epistemologi atau teori pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indra dengan berbagai metode, diantaranya : metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis (Surajiyo, 2008:53). Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge. Istilah epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar dan dalam bahasa Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara terminology epistemology adalah teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat tentang pengetahuan.

       Masalah utama dari epistemologi adalah bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Sebenarnya seseorang baru dapat dikatakan berpengetahuan apabila telah sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan epistemologi artinya pertanyaan epistemologi dapat menggambarkan manusia mencintai pengetahuan. Hal ini menyebabkan eksistensi epistemologi sangat urgen untuk menggambar manusia berpengetahuan, yaitu dengan jalan menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah yang dipertanyakan dalam epistemologi. Makna pengetahuan dalam epistemologi adalah nilai tahu manusia tentang sesuatu sehingga ia dapat membedakan antara satu ilmu dengan ilmu yang lainnya. Sementara itu, dalam kitabnya Al Ghazali mengungkapkan bahwa manusia bisa menangkap realitas sebagai sumber ilmu dengan dua cara, yaitu dengan melakukan pengamatan dan dilanjutkan dengan penalaran serta dengan menyibak tabir-tabir intuisi untuk menemukan kebenaran sejati. Cara yang pertama beliau sebut dengan ilmu i‘tibar atau istibahar sedang cara yang kedua beliau sebut dengan ilham atau wahyu (Abu Hamid Al Ghazali, 17).

       Secara epistemologis, dengan adanya dua alternatif mencapai kebenaran, maka ada dua cara pula yang harus ditempuh. Untuk memperoleh kebenaran I‟tibary, cara yang ditempuh adalah dengan mengaktifkan akal untuk menerima ilmu yang berasal dari pengamatan, dan dengan melakukan serangakaian percobaan untuk mengetahui akibat-akibat yang terjadi di masa datang (prinsip-prinsip?). Sedangkan untuk memperoleh kebenaran yang berupa ilham tidak ada jalan lain kecuali dengan mendekatkan diri kepada Allah dan mengasingkan diri dari kehidupan manusia agar terbuka pintu alam malakut sehingga dapat mencapai jauh almahfur untuk mendapatkan kebenaran yang sejati. Namun demikian beliau mengatakan bahwa sebelum menempuh jalan tersebut hendaknya terlebih dahulu menempuh jalan yang ditempuh oleh para ulama (ahli fikih) dan memahami apa yang mereka ucapkan. Setelah itu barulah menunggu terbukanya tabir untuk mencapai kebenaran yang sejati.

       Sekali lagi, bahwa Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan. Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara 'alim (subjek) dan ma'lum (objek). Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan kebenaran macam apa yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak.

        Dalam pandangan Harun Nasution epistemologi ialah ilmu yang membahas: apa itu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 1996:17). Selanjutnya The Liang Gie mengutip dari The Encyclopedia of Philosophy menguraikan “epistemologi sebagai cabang filsafat yang bersangkutan dengan sifat dasar dan ruang lingkup pengetahuan, praanggapan dan dasardasarnya serta realibilitas umum dan tuntutan akan pengetahuan” (Miska Muhammad Amin, 1983: 3). Dalam pengertian lain, epistemologi diartikan sebagai “the branch of philosopy which investigates the origins, structure, methods and validity of knowledge.” Jadi epistemologi merupakan bagian filsafat yang membahas secara mendalam mengenai hakikat dan kebenaran sebuah pengetahuan, serta metode dan sistem untuk memperoleh pengetahuan (Harold H. Titus, dkk, 1984:187-188).

Epistemologi bersentuhan dengan tiga persoalan pokok (Jujun S. Sumantri, 1995:33), yaitu:

1.      Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimanakah kita mengetahuinya?

2.      Apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benarbenar di luar pikiran kita, dan kalau ada, apakah dapat diketahui?

3.      Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimanakah kita dapat membedakan yang benar dari salahnya? Atau menurut Jujun S. Sumantri, Epistemologi menyoal tentang bagiamana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kreterianya ? cara atau teknik sarana apa yang membantu dalam mendapatkan pengetahuan berupa ilmu?.

       Dua persoalan yang pertama berkaitan dengan apa yang kelihatan (phenomena) dan hakikat (noumena), sedangkan yang terakhir adalah soal mengkaji kebenaran atau verifikasi. Sederhananya, aspek epistemologi ilmu itu meliputi sumber, sarana-sarana dan tata cara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan ilmiah.

       Plato dapat dikatakan sebagai filsuf pertama yang secara jelas mengemukakan epistemologi dalam filsafat, meskipun ia belum menggunakan secara resmi istilah epistemologi ini. Filsuf Yunani berikutnya yang berbicara tentang epistemologi adalah Aristoteles. Ia murid Plato dan pernah tinggal bersama Plato selama kira-kira 20 tahun di Akademia. Dan persoalan dalam epistemologi ini, sebenarnya tidak lebih dari pengaruh pendapat dua tokoh filsafat ini. Misalnya, Pertama, aliran yang sangat menekankan pentingnya akal, ide, dan ketegori-kategori maupun form sebagai sumber pengetahuan. Sementara aliran Kedua, justru mempertautkan peran indera (sentuhan, penciuman, penglihatan, dan lainnya) sebagai sumber pengetahuan. Sehingga peran akal, menjadi sisi nomor dua (Kattsoff, 1987:143). Jika Idealisme pada mulanya dipelopori oleh Plato, maka Materealisme dimotori oleh Aristoteles. Dari uraian tersebut, maka kelompok kami tertarik untuk menyusun makalah ini dengan judul, “Epistemologi”.

1. 2 Rumusan Masalah

            Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut:

1.      Bagaimana pengertian dan sejarah Epistemologi serta pemikiran Epistemologi?

1. 3 Tujuan Pembuatan Makalah

Untuk mengetahui dan mengupas bagaimana Epistemologi dalam Filsafat dan Etika Komunikasi serta sejarah dari Epistemologi.

 1. 4 Manfaat Pembuatan Makalah

Ø  Manfaat Akademis

Untuk menambah wacana pengetahuan studi tentang Epistemologi dalam Filsafat dan Etika Komunikasi serta sejarah dari Epistemologi

 Ø  Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk rekomendasi terkait hal yang sama.

 

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Epistemologi

        Epistemologi dari bahasa yunani Episteme (pengetahuan) dan Logos (ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa epistemologi adalah pengetahuan sistematik tentang pengetahuan. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat, yakni epistemology dan ontology (on=being, wujud, apa + logos = teori), ontology (teori tenang apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tidak ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa, sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya, sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut Jujun S. Suriasumantri (1985 : 34-35), Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan epistemologi mempertanyakan bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara atau teknik atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?

Secara singkat dapat dikatakan bahwa epitemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan mengenai masalah hakikat pengetahuan. Dengan kata lain, epistemology meruakan disiplin filsafat yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang pengetahuan. Sedangkan pengetahuan yang tidak ilmiah adalah masih tergolong prailmiah. Dalam hal ini, berupa pengetahuan hasil sarana inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah ada maupun baru didapat. Disamping itu, sesuatu yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran, seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi). Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang pra-ilmiiah, sesungguhnya dieroleh secara sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena tidak diperoleh secara sistematis-metodologis ada yang cenderung menyebutnya sebagai pengetahuan “naluriah”. Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim disebut tahap-mistik, tidak terdapat perbedaandiantara pengetahuan-pengetahuan yang berlaku juga untuk obyek-obyeknya, pada tahap mistik ini, sikap manusia seperti dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, sehingga semua obyek tampil dalam kemestaan dalam artian satu sama lain berdifusi menjadi tidak jelas batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu mempunyai implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan dalam pengetahuan untuk dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui segala-galanya.Fenomena tersebut sejalan dengan singkat kebudayaan primitif yang belum mengenal berbagai organisasi kemasyarakatan, sebagai implikasi belum adanya diverifikasi pekerjaan. Seorang pemimpin dipersepsikan dapat merangkap fungsi apa saja, anatara lain sebagai seagi kepala pemerintahan, akim, guru, panglima perang, penjabat, pernikaan dan sebagainya. Ini berarti pula bahwa emimpin itu mampu menyelesaikan segala masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya.

Epistemologi juga disebut sebagai cabang filsafat yang berelevansi dengan sifat dasar dan ruang lingkup pengetahuan, pra-anggapan-pra-anggapan, dan dasar-dasarnya, serta rehabilitas umum dari tuntutan akan pengetahuan. Epistemologi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mengkaji awal mula, struktur, metode, dan validity pengetahuan. Berdasarkan berbagai definisi itu dapat diartikan, bahwa epistemologi yang berkaitan dengan masalah-masalah yang meliputi:

      1.      Filsafat, sebagai filsafat yang berusaha mencari hakikat dan kebenaran pengetahuan.
2.      Metode, sebagai metode bertujuan mengatur manusia untuk memperoleh pengetahuan.
3.      Sistem, sebagai suatu sistem bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan itu sendiri.

Metode dan Memperoleh Pengetahuan melalui :

a)      Empirisme

Empirisme adalah suatu cara atau metode dalam filsafat yang berdasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusa dilahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa), dan di dalam buku catatan tulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut. Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan yang secara pasif menerima asil-hasil enginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita, betapapunrumitnya dapat dilacek kembali sampai kepada pengalaman-engalaman inderawi yang pertama-pertama dapat diibaratlam sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak erlu dilacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.

b)     Rasionalisme

Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Ara penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak didalam ide kita, dan bukannya didalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna dan mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.

c)      Fenomenalisme

Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalam dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena iu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaannya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan didasarkan pada pengalaman meskipun benar hanya untuk sebagian.tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.

d)     Intusionisme

Menurut Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hal pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.Salah satu diantara unsur-unsur yang berharga dalam instuisionisme Bergson adalah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman disamping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman arus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalam intuitif.

Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap diperoleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi yang meliputi sebagian saja yang diberikan oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaan yang senyatanya.

2.2 Ilmu Pengetahuan Dan Metodologi Riset

Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoretis dan filsafat praktis. Filsafat teoretis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan, dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan metafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik. Plato (427–348 SM) menyatakan filsafat ialah pengetahuan yang bersifat untuk mencapai kebenaran yang asli. Sedangkan Aristoteles (382–322 SM) mendefenisikan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Sedangkan filosof lainnya Cicero (106–043 SM) menyatakan filsafat ialah ibu dari semua ilmu pengetahuan lainnya. Filsafat ialah ilmu pengetahuan terluhur dan keinginan untuk mendapatkannya.

Salah satu tiang penopang dalam bangunan ilmu pengetahuan adalah epistimologi. Epistimologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan. Epistimologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Epistimologi merupakan teori pengetahuan yang diperoleh melalui proses metode keilmuan dan sah disebut sebagai keilmuan. Dengan epistimologi maka hakikat keilmuan akan ditentukan oleh cara berfikir yang dilakukan dengan sifat terbuka, dan menjunjung tinggi kebenaran di atas segala-galanya. Oleh sebab itu aliran yang berkembang dalam menopang konsep epistimologi menunjukkan koridor di atas seperti rasionalisme, empirisme, kritisme, positivisme, fenomenologi.

Tiga landasan ilmu pengetahuan atau yang sering disebut dengan tiga tiang peyangga ilmu pengetahuan dalam kajian filsafat ilmu terdiri atas : ontologi, epistimologi dan aksiologi. Liek Wilardjo menambahkan satu landasan lagi yang disebut dengan teleologis yang biasanya digabungkan dengan aksiologis. Ketiga unsur ini merupakan tolok ukur dalam membangun The Body of Knowledge. Bangunan keilmuan yang ditopang tiga tiang peyangga ini menjadi prasyarat mutlak jika mengupas hubungan sinergi antara filsafat ilmu dengan metodologi penelitian. Secara aplikasi, pola penggunaan tiga tiang peyangga ini dalam riset utamanya dalam rancangan penelitian akan terwujud sebagai berikut : pada tataran ontologis akan tercermin pada latar belakang penelitian, rumusan dan batasan masalah, termasuk didalamnya penelitian terdahulu maupun kajian pustaka, adapun tataran epistimologi terwujudkan dalam metode penelitian dan pada ataran aksiologi maupun teleologis berwujud ke tujuan dan manfaat penelitian. Tiga ranah ini sesungguhnya menjadi kata kunci landasan filosofis dalam riset.

Ilmu pengetahuan akan berkembang dengan pesat salah satunya didukung oleh kemampuan dari peneliti dalam melakukan evaluasi seluruh kerja penelitian yang selama ini dilakukan. Oleh karena kerja penelitian dengan menggunakan standar metodologi yang tepat maka pola pengembangan di lapangan yang dinamis membutuhkan formula-fourmula baru yang mendukung ke arah pembaharuan metodologi penelitian itu sendiri. Formula-formula baru tersebut didapatkan dari serangkaian hasil evaluasi secara menyeluruh agar penelitian-penelitian yang dilakukan di masa yang akan datang dapat memberikan nilai tambah terhadap kualitas penelitian tersebut. Pengaruh positif yang didapatkan dari hal tersebut adalah kontribusi pada bagunan keilmuan semakin berkualitas sehingga nilai kemajuan dari ilmu pengetahuan dari abad ke abad semakin berkembang. Upaya ke arah tersebut tentu saja ditopang oleh pengetahuan metodologi penelitian yang mumpuni dari periset sehingga hasil evaluasinya tidak diragukan dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Epistemologi dibagi 3 bagian, yaitu logika,metodologi dan filsafat ilmu. Logika secara khusus membahas tentang sistematika berfikir, bernalar dan berargumen. Metodologi secara khusus membahas tentang cara mendapatkan pengetahuan dan kebenaran, mengembangkan ilmu pengetahuan dan sebagai alat untuk meneliti sebuah pemasalahan. Adapun metode metode berpikir yang dihasilkan dari epistemologi, yaitu sebagai berikut :

1. Rasionalisme

Rasionalisme merupakan sebuah metode berpikir yang berpandangan bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan bernalar yang harus didasari dengan rasio atau pengukuran, pola dan logika, dengan begitu kita baru dapat mendapatkan sebuah kebenaran. Rasio secara sederhana dapat diartikan sebagai rumus dan pola, namun dalam konteks yang lebih luas. Aspek rasio meliputi pola, rumus, imajinasi, ide, logika dan insting.

Rasionalisme contohnya seperti manusia sedang berburu harimau. Manusia dengan metode berpikir rasionalisme akan berpikir, merencanakan, menyusun strategi, mengukur terlebih dahulu sebelum menembak harimau tersebut. Dengan begitu, manusia tersebut dapat berburu sekaligus mempelajari cara berburu yang itu disebut pengetahuan kualitatif.

2. Empirisme

Empirisme merupakan sebuah metode berpikir yang berpandangan bahwa segala sesuatu untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran hanya didapat dengan pengujian dan pengalaman secara langsung. Empirisme lebih menekankan pada panca indra manusia dibandingkan dengan akal manusia karena dengan panca indra akan lebih mudah untuk mengingat apa yang terjadi pada pada panca indra tersebut ketika berinteraksi sesuatu hal di dunia ini.

Empirisme contohnya seperti manusia sedang berburu harimau. Dengan metode empirisme akan langsung melakukan pengujian dan pengamatan untuk bisa menembak harimau tersebut. Dengan seringnya menembak harimau tersebut, maka akan bertambah pula pengalaman dan pengetahuan tentang berburu harimau yang menjadi landasan dasar metode empirisme.

 2.3 Sumber, Metode, dan Analisis

Sejarah filsafat Barat mencatat ada dua aliran pokok dalam epistemologi. Pertama, idealism atau rasionalism (Plato), yaitu suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran akal, idea, category, form, sebagai sumber ilmu pengetahuan, dan mengesampingkan peran indera. Kedua, adalah realism atau empiricism (Aristoteles), yaitu aliran pemikiran yang lebih menekankan peran indera sebagai sumber sekaligus alat memperoleh pengetahuan, serta menomorduakan akal. Kedua aliran tersebut lahir pada zaman Yunani antara tahun 423 sampai dengan tahun 322 sebelum Masehi.

Selain kedua aliran tersebut masih ada beberapa aliran lain diantaranya, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi dan lain sebagainya. Kesemuanya lahir setelah masa renaissans di Barat. 18 Sedangkan menurut Prof. Syed Naquib Al-Atas, mengatakan sumber dan kriteria kebenaran dalam pandangan Islam terbagi atas dua bagian besar, yakni yang bersifat relative dan yang bersifat absolut. Yang termasuk sumber pengetahuan relatif adalah indra dan persepsi. Sumber yang absolut, tiada lain al-Quran dan Sunnah. Sebagaiman telah dijelaskan sebelumnya bahwa ada beberapa pendapat tentang sumber pengetahuan antara lain:

Emperisme yang beranggapan bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman (empereikos / pengalaman). Dalam hal ini harus ada tiga hal, yaitu yang mengetahui (subjek), yang diketahui (objek) dan cara mengetahui (pengalaman). Tokoh yang terkenal: John Locke (1632 –1704), George Barkeley (1685 - 1753) dan David Hume. Dalam Al-Qur'an, banyak ayat yang menganjurkan untuk melakukan perjalanan dan menjadikan pengalaman sebagai pelajaran yang harus dimanfaatkan. Oleh karena itu, dalam pandangan al-Qur'an, wujud yang yang diinformasikan oleh panca indra -selama dalam wilayah kerjanya- dapat diandalkan dan bahwa apa yang dijangkaunya adalah satu kenyataan dan pengetahuan. Bahkan al-Qur'an secara tegas menyatakan bahwa: “Allah mengeluarkan kamu dari perut ibu-ibu kamu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, aneka penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.

Rasionalisme, aliran ini menyatakan bahwa akal (reason) merupakan dasar kepastian dan kebenaran pengetahuan, walaupun belum didukung oleh fakta empiris. Tokohnya adalah Rene Descartes (1596–1650, Baruch Spinoza (1632 – 1677) dan Gottried Leibniz (1646 –1716). Al-Qur'an memerintahkan manusia untuk menggunakan nalarnya dalam menimbang ide yang masuk ke dalam benaknya. Banyak ayat yang berbicara tentang hat ini dan dengan berbagai redaksi seperti ta'qiluun, tatafakkaruun, tadabbaruun dan lain-lain. lni membuktikan bahwa akal pun mampu meraih pengetahuan dan kebenaran selama ia digunakan dalam wilayah kerjanya.

Intuisi. Dengan intuisi, manusia memperoleh pengetahuan secara tiba-tiba tanpa melalui proses penalaran tertentu. Ciri khas intuisi antara lain; zauqii (rasa) yaitu melalui pengalaman langsung, ilmu huduuri yaitu kehadiran objek dalam diri subjek, dan eksistensial yaitu tanpa melalui kategorisasi akan tetapi mengenalnya secara intim. Henry Bergson menganggap intuisi merupakan hasil dari evolusi pemikiran yang tertinggi, tetapi bersifat personal. Dalam surah pertama yang diturunkan kepada Rasulullah saw., dijelaskan bahwa ada dua cara mendapatkan pengetahuan. pertama melalui "pena" (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah 'llm Ladunny seperti ilmu yang diperoleh oleh Nabi Haidir: فوجدا عبدا من عبادان آتيناه رمحة من عندان وعلمناه من لدان علما Artinya: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba kami, yang Telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang Telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”. Pengetahuan intuisi ada yang berdasar pengalaman indrawi seperti aroma atau warna sesuatu, ada yang langsung diraih melalui nalar dan bersifat aksioma seperti A adalah A, ada juga ide cemerlang secara tiba-tiba seperti halnya Newton ( 1642- 1727 M) menemukan gaya gravitasi setelah melihat sebuah apel yang terjatuh tidak jauh dari tempat ia duduk dan ada juga berupa mimpi seperti mimpi Nabi Yusuf as. dan Nabi Ibrahim as.

Wahyu adalah pengetahuan yang bersumber dari Tuhan melalui hamba-Nya yang terpilih untuk menyampaikannya (Nabi dan Rasul). Melalui wahyu atau agama. Manusia diajarkan tentang sejumlah pengetahuan baik yang terjangkau ataupun tidak terjangkau oleh manusia. Disamping itu, masih ada sumber pengetahuan seperti kritisisme atau rasionalisme kritis adalah pandangan yang mendasari kebenaran pada dua aspek yaitu rasio dan pengalaman. Sedangkan positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.

Metode Pengumpulan Data Primer, Data primer dikumpulkan dari pengalaman tangan pertama dan tidak digunakan di masa lalu. Pengumpulan data dengan metode pengumpulan data primer bersifat spesifik untuk motif penelitian dan sangat akurat. Metode pengumpulan data primer dapat dibagi menjadi dua kategori: metode kuantitatif dan metode kualitatif.

Metode kuantitatif, Teknik kuantitatif untuk riset pasar dan peramalan permintaan biasanya menggunakan alat statistik. Dalam teknik ini, permintaan diperkirakan berdasarkan data historis. Metode pengumpulan data primer ini umumnya digunakan untuk membuat prakiraan jangka panjang. Metode statistik sangat andal karena unsur subjektivitas minimal dalam metode ini.

Analisis Deret Waktu, Istilah deret waktu mengacu pada urutan nilai variabel yang berurutan, yang dikenal sebagai tren, pada interval waktu yang sama. Dengan menggunakan pola, organisasi dapat memprediksi permintaan produk dan layanannya untuk waktu yang diproyeksikan.

Teknik menghaluskan, Dalam kasus di mana deret waktu tidak memiliki tren yang signifikan, teknik pemulusan dapat digunakan. Mereka menghilangkan variasi acak dari permintaan historis. Ini membantu dalam mengidentifikasi pola dan tingkat permintaan untuk memperkirakan permintaan di masa depan. Metode yang paling umum digunakan dalam teknik peramalan permintaan pemulusan adalah metode rata-rata bergerak sederhana dan metode rata-rata bergerak tertimbang.

Metode Barometrik, Juga dikenal sebagai pendekatan indikator utama, peneliti menggunakan metode ini untuk berspekulasi tren masa depan berdasarkan perkembangan saat ini. Ketika peristiwa masa lalu dianggap memprediksi peristiwa masa depan, mereka bertindak sebagai indikator utama.

Metode Kualitatif, Metode kualitatif sangat berguna dalam situasi ketika data historis tidak tersedia. Atau tidak perlu angka atau perhitungan matematis. Penelitian kualitatif berkaitan erat dengan kata-kata, suara, perasaan, emosi, warna, dan unsur-unsur lain yang tidak dapat diukur. Teknik-teknik ini didasarkan pada pengalaman, penilaian, intuisi, dugaan, emosi, dll. Metode kuantitatif tidak memberikan motif di balik tanggapan peserta, seringkali tidak menjangkau populasi yang kurang terwakili, dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengumpulkan data. Oleh karena itu, yang terbaik adalah menggabungkan metode kuantitatif dengan metode kualitatif.

Survei, Survei digunakan untuk mengumpulkan data dari audiens target dan mengumpulkan wawasan tentang preferensi, pendapat, pilihan, dan umpan balik mereka terkait dengan produk dan layanan mereka. Sebagian besar perangkat lunak survei sering kali memiliki berbagai jenis pertanyaan untuk dipilih. Digunakan templat survei yang sudah jadi untuk menghemat waktu dan tenaga. Survei online dapat disesuaikan sesuai merek bisnis dengan mengubah tema, logo, dll. Survei dapat didistribusikan melalui beberapa saluran distribusi seperti email, situs web, aplikasi offline, kode QR, media sosial, dll. Tergantung pada jenis dan sumbernya audiens Anda, Anda dapat memilih saluran. Setelah data dikumpulkan, perangkat lunak survei dapat menghasilkan berbagai laporan dan menjalankan algoritme analitik untuk menemukan wawasan tersembunyi. Dasbor survei dapat memberi Anda statistik yang terkait dengan tingkat respons, tingkat penyelesaian, filter berdasarkan demografi, opsi ekspor dan berbagi, dll. Anda dapat memaksimalkan upaya yang dihabiskan untuk pengumpulan data online dengan mengintegrasikan pembuat survei dengan aplikasi pihak ketiga.

Jajak pendapat terdiri dari satu pertanyaan pilihan tunggal atau ganda. Ketika diperlukan untuk memiliki denyut nadi cepat  dari sentimen audiens, Anda dapat melakukan polling. Karena pendek, lebih mudah mendapatkan tanggapan dari orang-orang.

Mirip dengan survei, polling online juga dapat disematkan ke berbagai platform. Setelah responden menjawab pertanyaan, mereka juga dapat ditunjukkan bagaimana mereka berdiri dibandingkan dengan tanggapan orang lain.

Wawancara. Dalam metode ini, pewawancara mengajukan pertanyaan baik secara tatap muka maupun melalui telepon kepada responden. Dalam wawancara tatap muka, pewawancara mengajukan serangkaian pertanyaan kepada orang yang diwawancarai secara langsung dan mencatat tanggapannya. Jika tidak memungkinkan untuk bertemu dengan orang tersebut, pewawancara dapat melakukan wawancara melalui telepon. Bentuk pengumpulan data ini cocok bila respondennya hanya sedikit. Terlalu memakan waktu dan membosankan untuk mengulangi proses yang sama jika ada banyak peserta.

FGD. Dalam kelompok fokus, sekelompok kecil orang, sekitar 8-10 anggota, mendiskusikan area masalah yang umum. Setiap individu memberikan wawasannya tentang masalah yang bersangkutan. Seorang moderator mengatur diskusi di antara anggota kelompok. Di akhir diskusi, kelompok mencapai konsensus.

Kuesioner adalah serangkaian pertanyaan yang dicetak, baik terbuka maupun tertutup. Responden diminta untuk menjawab berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya terhadap masalah yang bersangkutan. Kuesioner adalah bagian dari survei, sedangkan tujuan akhir kuesioner mungkin atau mungkin bukan survei.

Metode Pengumpulan, Data sekunder adalah data yang sudah pernah digunakan sebelumnya. Peneliti dapat memperoleh data dari sumber, baik internal maupun eksternal, untuk organisasi.

Sumber internal data sekunder :

           Catatan kesehatan dan keselamatan organisasi

           Pernyataan misi dan visi

           Laporan keuangan

           Majalah

           Laporan penjualan

           Perangkat Lunak CRM

           Ringkasan eksekutif

Sumber eksternal data sekunder :

           laporan pemerintah

           Siaran pers

           Jurnal bisnis

           Perpustakaan

           Internet

Metode pengumpulan data sekunder juga dapat melibatkan teknik kuantitatif dan kualitatif. Data sekunder mudah tersedia dan karenanya, lebih sedikit memakan waktu dan mahal dibandingkan dengan data primer. Namun, dengan metode pengumpulan data sekunder, keaslian data yang dikumpulkan tidak dapat diverifikasi.

 2.4 Epistimologi Komunikasi Sebagai Disiplin Berpikir Menghasilkan Teori Komunikasi

Filsafat komunikasi adalah suatu bidang studi yang menelaah pendekatan filsafat terhadap ilmu komunikasi. Studi filsafat komunikasi bisa kamu mulai dengan memelajari konsep pokok dalam disiplin filsafat, seperti epistemologi, aestetika, logika, etika, metafisika. Setelah itu, kamu bisa membahas bagaimana konsep tersebut dapat menjelaskan masalah/isu yang dihadapi praktisi komunikasi dalam profesi dan kehidupan masyarakat. Masalah yang dibahas khususnya adalah masalah yang bersangkutan dengan dilema-dilema etik. Terdapat beberapa pendapat mengenai pendekatan filsafat dalam ilmu komunikasi. James A. Anderson (1996) menyatakan bahwa pendekatan filsafat menekankan pada teori komunikasi yang dapat mendefinisikan teori, mendiskusikan bidang studi teori komunikasi, dan mencari tahu hal yang membuat suatu teori termasuk teori komunikasi.

Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature, methods and limits of human knowledge). Epistemologi berkaitan dengan penguasaan pengetahuan dan lebih fundamental lagi bersangkutan dengan kriteria bagi penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan, tepat apabila dihubungkan dengan metodologi. Metode adalah tata cara dari suatu kegiatan berdasarkan perencanaan yang matang dan mapan, sistematik dan logis. Pada dasarnya metode ilmiah dilandasi: (1) Kerangka pemikiran yang logis, (2) Penjabaran hipotesis yang merupakan deduksi dan kerangka pemikiran, (3) Verifikasi terhadap hipotesis untuk menguji kebenarannya secara faktual.

Ilmu pengetahuan dan metodologi riset. Riset Menurut Para Ahli adalah suatu proses kegiatan penyelidikan (investigasi) atau eksplorasi terhadap suatu masalah yang dilakukan menurut kaidah dan metodologi tertentu secara ilmiah dan sistematis. Tujuan dilakukan riset adalah untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, menemukan fakta yang baru, atau melakukan penafsiran yang lebih baik. Kata riset ini diserap dari kata bahasa Inggris research yang diturunkan dari bahasa Perancis yang memiliki arti harfiah “menyelidiki secara tuntas”. Istilah ini juga digunakan untuk menjelaskan suatu koleksi informasi menyeluruh mengenai suatu subjek tertentu, dan biasanya dihubungkan dengan hasil dari suatu ilmu atau metode ilmiah. Definisi Riset Menurut Para Ahli. Beberapa referensi mengenai definisi Riset Menurut Para Ahli antara lain:

a)      Kerlinger (1986)

Scientific research is a systematic, controlled empirical and critical investigation of propositions about the presumed relationship about various phenomena. Riset ilmiah adalah sistematik, terkontrol secara empiris dan investigasi kritis terhadap dalil mengenai dugaan hubungan antar berbagai fenomena. Kerlinger memberikan penekanan lebih, dalam definisi nya diatas, yaitu harus ada faktor investigasi kritis. Ini artinya seorang peneliti tidak harus yakin 100% terhadap investigasi yang telah dilakukan untuk menjawab permasalahan, namun juga harus memberikan sedikit kritik atau keraguan terhadap hasil investigasi nya, dengan harapan nantinya peneliti akan mencari sumber-sumber lain sebagai bahan komparasi yang mendukung hasil investigasi nya atau dengan kata lain harus menggunakan sumber eksternal agar penelitiannya semakin valid dan mampu menjawab permasalahan secara menyeluruh (holistic).

b)     Burns (1994)

Research is a systematic investigation to find answers to a problem. Riset adalah investigasi sistematik untuk menemukan jawaban dari sebuah permasalahan. Burn mendefinisikan riset secara lebih sederhana, namun sangat mudah dipahami. Intinya adalah bagaimana menjawab sebuah pertanyaan atau permasalahan yang ada dengan langkah-langkah yang sistematik.

c)      Hopkins WG (2002)

Research is all about addressing an issue or asking and answering a question or solving problem. Riset adalah mengirimkan sebuah isu atau pertanyaan serta menjawab sebuah pertanyaan atau memecahkan masalah. Hopkins didalam definisi diatas memberikan key word mengenai apa yang dimaksud dengan Riset atau penelitian. Ada dua kunci penting dalam sebuah riset yaitu memunculkan sebuah pertanyaan (addressing issue) dan bagaimana menjawab dan memecahkan masalah tersebut (solving problem). Dikenal empat teori kebenaran, sebagai berikut:

·        Teori koherensi; suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.

·        Teori korespondensi; suatu pernyataan adalah benar jikalau materi yang terkena oleh persyaratan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan itu.

·        Teori pragmatik; suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia.

2.5 Paradigma Pendekatan Komunikasi

Penelitian Komunikasi dapat dilakukan dengan menggunakan 2 (dua) pendekatan tunggal yang berbeda karakteristiknya, yaitu pendekatan kuantitatrif (objectivist) dan pendekatan kualitatif (subjectivist). Secara umum dapat dipahami bahwa penelitian komunikasi dengan objectivist berhubungan dengan pengujian hipotesis dan data yang dikuantifikasikan melalui penggunaan Teknik-teknik pengukuran yang objektif dan analisis statistik, Sedangkan penelitian komunikasi dengan pendekatan subjectivist memiliki keterkaitan dengan analisis data visual dan data verbal yang merupakan cerminan dari pengalaman sehari-hari.

TABEL 2.1

Karakteristik Pendekatan Kuantitatif Dan Kualitatif

Sumber: John W. Cresswell, Research Design, Qualitative & Quantitative Approaches, 1994

2.6 Sejarah Perkembangan Ilmu Komunikasi

Ilmu komunikasi dikategorikan ke dalam ilmu sosial dan ilmu terapan oleh para ahli komunikasi dan bersifat lintas disiplin ilmu. Hal ini dikarenakan obyek material ilmu komunikasi memiliki kesamaan dengan ilmu lainnya yaitu manusia. Sebagai sebuah ilmu, komunikasi telah menorehkan jejak sejarah yang sangat panjang. Dalam artikel sebelumnya yang bertajuk Pengantar Ilmu Komunikasi telah disinggung secara sekilas tentang sejarah ilmu komunikasi.  Sebagai sebuah ilmu, komunikasi sejatinya telah dikaji oleh para peneliti ataupun ahli dari berbagai disiplin ilmu namun dengan penamaan yang berbeda yaitu Publisistik, Jurnalistik, atau Komunikasi Massa.

Dapat dikatakan bahwa pada awalnya ilmu komunikasi hanya berkutat pada konteks komunikasi massa. Namun, melalui serangkaian penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh para ahli, ilmu komunikasi kemudian berkembang tidak hanya mengkaji gejala sosial yang terjadi akibat proses komunikasi massa namun juga komunikasi interpersonal atau komunikasi antar pribadi dan komunikasi kelompok.

Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi, maka ilmu komunikasi pun mengalami perkembangan lebih lanjut. Kehadiran internet sebagai media komunikasi serta berbagai media komunikasi modern tidak dipungkiri turut memberikan kontribusi pada perkembangan ilmu komunikasi. Perjalanan sejarah perkembangan ilmu komunikasi pun memasuki fase berikutnya sejalan dengan sejarah perkembangan teknologi komunikasi dan sejarah perkembangan alat komunikasi (Baca juga : Jenis-jenis Komunikasi Daring Berdasarkan Metode Penyampaiannya).

Pengertian Komunikasi, Di Amerika Serikat, ilmu komunikasi dikenal dengan sebutan Communication Science atau Communicology. Ilmu komunikasi sendiri kemudian menjadi pusat perhatian di Amerika Serikat pada tahun 1940an ketika Carl I. Hovland merumuskan pengertian ilmu komunikasi. Berikut adalah beberapa pengertian ilmu komunikasi atau komunikologi yang dikemukakan oleh para ahli.

Carl I. Hovland mendefinisikan ilmu komunikasi sebagai sebuah usaha sistemik untuk merumuskan dengan ketat prinsip-prinsip yang dengannya informasi ditransmisikan serta opini dan sikap terbentuk. Lebih lanjut, Hovland menyatakan bahwa proses komunikasi adalah proses dimana seorang individu yaitu komunikator mentransmisikan stimuli yang biasanya berupa simbol-simbol verbal untuk mempengaruhi perilaku individu lainnya atau komunikate (Efendi, 1984 : 5).

Keith Brooks (1967) menjelaskan komunikologi dalam bukunya The Communicative Arts and Science of Speech dengan menyatakan bahwa Komunikologi atau Ilmu Komunikasi merupakan integrasi prinsip-prinsip komunikasi yang dikemukakan oleh para ahli sebagai sebuah disiplin akademis. Komunikasi juga memiliki sebagai filsafat komunikasi yang realistis, suatu program penelitian sistematis yang mengkaji berbagai teori komunikasi, menjembatani kesenjangan yang ada dalam pengetahuan, memberikan penafsiran, dan saling mengabsahkan berbagai penemuan yang dihasilkan oleh berbagai disiplin khusus dan program penelitian lainnya. Menurutnya, Komunikologi merupakan program yang sangat luas, yang mencakup-tanpa membatasi dirinya sendiri-kepentingan-kepentingan atau teknik-teknik setiap disiplin akademik (Efendi, 1984: 5-6).

Joseph A. Devito menegaskan dalam bukunya Communicology: An Introduction to the Study of Communication bahwa komunikologi adalah ilmu komunikasi utamanya komunikasi yang dilakukan oleh dan di antara manusia. Lebih lanjut Devito menyatakan bahwa seorang komunikolog adalah seorang pakar ilmu komunikasi. Istilah komunikasi digunakan untuk menunjukkan tiga bidang studi yang berbeda yaitu proses komunikasi, pesan yang dikomunikasikan, serta studi mengenal proses komunikasi(Efendi, 1984 : 6-7).

International Communicology Institute mendefinisikan komunikologi dengan merujuk pada pendekatan kualitatif ilmu pengetahuan manusia terhadap penelitian komunikasi manusia. Komunikologi telah digunakan untuk menggambarkan sebuah disiplin dibawah luasnya bidang komunikasi dengan menggunakan metode semiotika dan metode fenomenologis berbasis logika untuk mempelajari kesadaran perilaku manusia. Pemahaman proses komunikasi manusia dikembangkan dengan menggunakan metodologi kualitatif dalam disiplin komunikologi.

A.    Ilmu Pernyataan Manusia di Yunani dan Romawi Kuno

Jejak sejarah perkembangan ilmu komunikasi dimulai pada abad ke lima sebelum masehi yang ditandai dengan berkembangnya istilah Rhetorike di masa Yunani Kuno sebagai sebutan untuk ilmu yang mengkaji proses pernyataan antar manusia. Georgias adalah tokoh pertama yang mempelajari dan menelaah proses pernyataan antar manusia. Tokoh-tokoh lainnya yang juga mengkaji ilmu pernyataan manusia adalah Protagoras, Socrates, Plato, Demosthenes, dan Aristoteles. Selain di Yunani, ilmu pernyataan manusia juga berkembang di Romawi yang dikenal dengan Rhetorika. Adapun tokoh yang mengembangkan retorika di Romawi adalah Cicero.

Ketika Romawi dipimpin oleh kaisar yang bernama Gaius Julius Caesar, berkembang ilmu pernyataan manusia melalui media. Pada masa kepemimpinannya, semua kegiatan yang dilakukan oleh senat harus diumumkan setiap hari kepada masyarakat melalui Acta Diurna atau semacam papan pengumuman. Ilmu pernyataan manusia kemudian mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan teknologi seperti ditemukannya kertas pada tahun 105 M dan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg pada abad 15.

Kemudian, pada tahun 1609 surat kabar pertama yaitu Avisa Relation Oder Zitung terbit di Jerman. Beberapa tahun kemudian, yaitu sekitar tahun 1622 di Inggris terbitlah surat kabar Weekly News. Berdasarkan catatan sejarah, pada masa ini telah lahir dan berkembang berbagai macam surat kabar yang memiliki berbagai pengaruh terhadap khalayaknya. Hal inilah yang membuat para ahli tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan persuratkabaran.

B.     Pemikiran Epistemologi para Filosof Yunani dan Barat

1)     Filosof Yunani

       Sejak awal, para filosof pra-Sokratik tidak memberikan perhatian pada cabang filsafat epistemologi, sebab mereka memusatkan perhatian pada alam dan kemungkinan perubahannya, sehingga mereka kerap dijuluki filosof alam. Mereka mengandaikan begitu saja, bahwa pengetahuan mengenai itu mungkin, meski beberapa di antara mereka menyarankan bahwa pengetahuan tentang struktur kenyataan dapat lebih dimunculkan dari sumber-sumber tertentu, ketimbang sumber-sumber lain. Heraclitus (535-475 SM), misalnya, menekankan penggunaan indera, sementara Parmanides (540-475 SM) menekankan penggunaan akal. Meski demikian, tidak seorang pun meragukan adanya pengetahuan tentang kenyataan (realitas) (Paul Edward, 1972:9).

       Pengetahuan tentang “realitas” atau kebenaran obyektif mendapat momentum-nya pada filsafat Socrates (469–399 SM). Menurutnya, ada kebenaran obyektif yang tidak tergantung pada saya atau pada kita. Untuk membuktikannya, Socrates menggunakan metode dialektika (berasal dari kata kerja Yunani dialegesthai, yang berarti bercakap-cakap atau berdialog), yang terdiri dari induksi dan definisi (M. A. Brouwer, 1986:25). Yang disebut pertama adalah pemikiran yang bertolak dari pengetahuan yang khusus, kemudian menyimpulkan pengetahuan yang umum, sedangkan yang disebut belakangan tiada lain adalah pengertian umum. Di sini Socrates memunculkan pengetahuan yang bersifat umum sebagai pengetahuan yang benar, dan pengetahuan yang khusus sebagai pengetahuan yang kebenarannya relatif. Pada abad 5 SM, muncul keraguan terhadap adanya kemungkinan itu. Mereka yang meragukan manusia mengetahui realitas adalah kaum Shofis. Mereka mempertanyakan, seberapa jauh kita benar-benar mengetahui kenyataan obyektif?

       Apakah kita mempunyai pengetahuan sebagaimana adanya? Sikap inilah yang disinyalir memunculkan filsafat epistemologi. Protagoras berpendapat, bahwa keadaan gejala sesuatu persis sama sebagaimana sesuatu itu tampak kepada manusia, dan kesan merupakan satu-satunya kenyataan. Diktum Protagoras mengatakan, “Man is the measure of thinks, of things that they are, of things that are not.” (Manusia adalah ukuran segala sesuatu baik yang ada maupun tidak ada). Sebaliknya, menurut Gorgias, tidak ada sesuatu yang disebut kenyataan. Jika ada, kita tidak dapat mengetahuinya, kita tidak dapat mengkomunikasikan pengetahuan kita itu. “Nothing exits, if anything exits, it is unknown able and granting, it even to exits and to be knoweble by any one, he could never communicate it do there” (Bertrand Russel, 1945:94-95).

       Perkembangan selanjutnya, epistemologi mendapat bentuknya dalam sistem pemikiran Plato (427-347 SM). Filosof Yunani ini, bahkan disebutsebut sebagai pencetus epistemologi atau the real originator of epistemology, karena ia telah menguraikan masalah-masalah mendasar tentang pengetahuan. Apa itu pengetahuan? Dimana pengetahuan diperoleh? Sejauhmanakah yang kita anggap pengetahuan adalah benar-benar merupakan pengetahuan? Apakah indera menghasilkan pengetahuan? Dapatkah budi memberi pengetahuan? Dan apakah hubungan antara pengetahuan dengan keyakinan yang benar? (Paul Edward).

       Dalam menguraikan pemikiran tentang epistemologi, Plato mengawalinya dengan menegaskan bahwa realitas itu tidak berubah. Menurutnya, pengetahuan sejati adalah apa yang disebut epistem, yakni pengetahuan tunggal dan tidak berubah sesuai dengan idea-idea abadi. Apa yang nampak di dunia ini hanyalah “bayangan” dari yang baka. Bayangan yang bermacam-macam dan selalu berubah, sehingga kebenaran menurut Plato bersifat apriori. Pandangan ini ingin menentukan apa kiranya yang mendahului adanya segala kenyataan itu? Bagi Plato, benda indrawi bukanlah objek pengetahuan, tapi objek opini. Juga pencerapan indrawi bukanlah pengetahuan, melainkan sekedar opini, karena selalu dalam perubahan dan kemungkinan salah.

       Kemudian datang Aristoteles (384 SM), murid Plato, meneruskan pendapat gurunya, tetapi dengan mengubah segi-segi mendasar. Aristoteles menetapkan abstraksi sebagai ganti dari ingatan dan intuisi. Dalam proses abstraksi, pengertian semakin meluas sejauh isi yang dapat disentuh dengan panca indera semakin menipis. Illustrasi itu dapat dilihat dari urutan berikut : itik – burung – hewan – makhluk hidup. Di sini pengertian tentang “makhluk hidup” semakin meluas karena semakin jauh dijangkau panca indera. Sebaliknya, pengertian “itik” semakin menyempit karena semakin dekat dari jangkauan panca indra. Dengan gambaran ini, Aristoteles berangkat dari pengamatan dan penelitian aposteriori, karena segala ungkapan-ungkapan ilmu terjadi sesudah pengamatan. Jadi, pengetahuan terjadi jika subyek diubah di bawah pengaruh obyek. Artinya, bentuk-bentuk dari dunia luar meninggalkan bekas di dalam ruang bathin, seperti halnya stempel meninggalkan bekas pada kertas (Ibid).

       Metode empirisme yang dibangun Aristoteles mendapat tanggapan dari para filosof yang datang kemudian, seperti filosof reneisance Francois Bacon (1561-1626 M) (M.J.Langiveld). Filsafat Bacon mempunyai peranan penting dalam metode induksi dan sistimatisasi prosedur ilmiah. Menurut Russel, dasar filsafat Bacon bersifat praktis, yakni untuk memberi kekuasaan pada manusia atas alam melalui penyelidikan ilmiah. Bacon, meng-kritik filsafat Yunani yang lebih menekankan pada perenungan-perenungan, dan akibatnya filsafat Yunani tidak mempunyai nilai praktis bagi kehidupan manusia (Will Durant).

2)     Pemikiran Epistemologi Barat Modern

       Ada empat macam mazhab pemikiran epistemologi barat modern, yakni:

a.      Mazhab empirisme.

      Menurut Bacon, pengetahuan tidak akan mengalami perkembangan berarti selama ia tidak mempunyai kekuatan yang dapat membantu manusia merubah kepada kehidupan yang lebih baik. Francois Bacon (K. Bertens), menulis, “Knowledge is power, it is not opinion to be held, but a work to be done, and I am laboring to lay the foundation not of any sector of doctrine, but of utility and power.” (Pengetahuan adalah kekuatan. Ia bukanlah suatu pendapat melainkan suatu pekerjaan untuk dilakukan. Dan saya bekerja bukan untuk meletakkan fondasi ajaran apapun, melainkan meletakkan fondasi kegunanaan dan kekuatan pengetahuan).

       Dengan pendapat ini, Francois Bacon menunjukkan dirinya sebagai penganut empirisme-positivisme yang menolak logika sehingga tidak dapat digunakan untuk melahirkan pengetahuan.

b.      Mazhab rasionalisme.

       Salah satu tokoh yang mempopulerkan mazhab ini adalah Rene Descartes (1596-1650 M). Menurutnya, persoalan dasar filsafat pengetahuan, bukanlah bagaimana kita dapat tahu, tetapi mengapa kita dapat membuat kekeliruan (Ahmad Tafsir). Filosof yang populer dengan cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) ini mengatakan bahwa salah satu cara untuk menentukan sesuatu yang pasti dan tidak pasti adalah dapat diragukan. Sehingga untuk mencapai kepastian, harus menempuh keraguan metodis universal. Keraguan ini bersifat universal, karena direntang tanpa batas. Artinya, usaha meragukan itu akan berhenti bila ada sesuatu yang tidak dapat diragukan lagi. Usaha meragukan itu disebut metodik, karena keraguan yang diterapkan di sini, merupakan cara yang digunakan oleh penalaran reflektif philosofis untuk mencapai kebenaran. Bagi Descartes, kekeliruan tidak terletak pada kegagalan melihat sesuatu, malainkan di dalam mengira tahu apa yang tidak diketahuinya, atau mengira tidak tahu apa yang diketahuinya.

       Di dalam Discours on Method, Descartes memberikan pandangan baru tentang epistemologi dengan menyebut metode-metode idealnya (Paul Edward), sebagai berikut:

1)     Tidak menerima sesuatu sebagai benar jika tidak memiliki idea yang jelas

2)     Menganalisis masalah

3)     Memulai dari pemikiran sederhana kemudian ke masalah lebih besar

4)     Membuat perhitungan-perhitungan yang sempurna dan menyeluruh, sehingga tidak satupun terabaikan.

       Pemikiran epistemologi Descartes yang didasarkan kepada kebenaran apriori-rasio ini mendapat sanggahan dari mazhab empirisme John Locke (1632-1704). Bagi Locke, seluruh pengetahuan bersumber dari pengalaman, bukan dari ide-ide bawaan apriori. John Locke yang terkenal sebagai pencetus teori tabula rasa (blank teble) mengatakan bahwa jiwa manusia pada dasarnya kosong dan pengalamanlah yang mengisi kekosongan tersebut.

      Dengan landasan ini, Locke menolak akal, menolak innate ide, menolak clear and distint Descartes, adeguate idea Spinoza, dan truth of reason Leibniz. Oleh karenanya, dalam pandangan Locke, gagasan berasal dari dua sumber, yakni sensasi dan persepsi jiwa. Dan persepsi adalah langkah dan tindakan pertama menuju pengetahuan. Di sini tampak Locke lebih mementingkan pengetahuan indrawi, ketimbang lainnya.

c.      Mazhab kantinian.

       Perkembangan berikutnya, muncul gagasan yang mensistesiskan antara rasional-isme dan empirisme oleh Imanuel Kant (1724-1804). Filsafat Kant, bermaksud membedakan antara pengetahuan yang murni dan tidak murni. Ia membersihkan pengetahuan dari keterikatannya kepada segala penampakkan yang bersifat sementara. Filsafat Kant dimaksudkan sebagai penyadaran atas kemampuan rasio secara obyektif dan menentukan batasbatas kemampuannya untuk memberikan tempat kepada kepercayaan. Inilah persolan yang mengarah pada problem phenomena dan noumena. Setelah Kant, muncul pemikiran epistemologi positivistik Auguste Comte (1798-1857). Filosof yang nama lengkapnya Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte dikenal sebagai the father of positivisme, dengan Law of three stages sebagai tesis utamanya. Pencapaian terbesar Comte adalah keberhasilannya menggabungkan deduksi rasional dan induksi empirik sebagai satu-satunya paradigma yang dapat dipegang untuk menghasilkan pengetahuan yang benar.        Karenanya, Comte mengajukan capaian-capaian ilmiah sebagai “religion humanity” (Aiken, 1957: 115). Filsafat Comte berpangkal dari apa yang diketahui, yang faktual, dan yang positif. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang tampak, dan karenanya Comte membatasi filsafat dan pengetahuan kepada bidang-bidang gejala saja. Implikasi pemikiran ini dengan sendirinya menolak dan memberangus metafisika.

d.      Mazhab postivisme.

      Mazhab ini lahir dari komunitas yang didirikan oleh Moritz Schlick pada tahun 1924. Ia melahirkan pandangan baru yang disebut neopositivisme atau positivisme logis. Kemudian pada abad 20 Masehi, dominasi epistemologi positivistik mengalami perkembangan baru dan mencapai kematangannya melalui kemunculan Vienna Circle (lingkaran Wina), suatu komunitas intelektual yang terdiri dari sarjana-sarjana ilmu pasti dan ilmu alam di Wina, Austria (Bertens, 1990: 166). Mereka memberi batas pada kenyataan yang bermakna (meaningful) dan tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kemungkinan untuk diverifikasi. Di sini para sarjana Wina mengajukan dua pertanyaan How do you know?, dan what do you mean? Yang pertama dimaksudkan dengan ”how do you verify?”, sedangkan yang disebut belakangan dimaksudkan dengan “berikanlah uraian atau analisis logis dari pernyataan anda!” Dengan dua pertanyaan ini, mereka menolak semua ungkapan tentang teologi atau hal-hal yang terkait dengan metafisika, seperti adanya Tuhan, penciptaan, jiwa, dan lain-lain karena dianggap tidak bermakna. Masalah-masalah filsafat juga dipandang semu, karena tidak didasarkan kepada penggunaan bahasa yang bermakna, melainkan pada bahasa emosi dan perasaan (emotional use of language). Maka, filsafat hanya memiliki tugas tunggal, yakni memeriksa susunan logis bahasa ilmiah, baik dalam perumusan penyelidikan ilmu alam, maupun dalam bidang logika dan matematika. Di sini epistemologi dipandang sebagai logika ilmu (the logic of science) (C. Verhaak).

       Gagasan para sarjana Wina tersebut ditentang keras oleh Karl Raimund Popper (lahir di Wina 1902). Popper menentang pembedaan antara ungkapan yang bermakna (meaningful) dari yang tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kriteria dapat dan tidaknya dibenarkan secara empiris. Pembedaan itu digantikan oleh Popper dengan pembedaan ungkapan “ilmiah” dan “tidak ilmiah”. Pokok pembedaan terletak pada ada dan tidak adanya dasar empiris bagi ungkapan-ungkapan bersangkutan. Maka, ungkapan yang tidak ilmiah, mungkin sekali amat bermakna (meaningful). Di sini kriteria ilmiah dan tidak ilmiah adalah falsifibilitas. Suatu ungkapan dinyatakan ilmiah jika diklasifikasikan secara empiris. Dengan kriteria ini, pernyataan metafisis memang tidak ilmiah, tetapi bukan berarti ia tidak bermakna. Sejarah membuktikan bahwa spekulasi metafisis telah menjadi sumber ilmu empiris (Victor Kraft).

      Setelah Popper, epistemologi mengalami perkembangan baru, terutama dengan munculnya Thomas Kuhn yang menulis The Structure of Scientific Revolutions tahun (1962). Kuhn mengatakan, filsafat ilmu sebaiknya berguru kepada sejarah ilmu baru. Dengan begitu, filsafat ilmu bisa mendekati kenyataan ilmu dan aktivitas ilmiah sesungguhnya. Konsep sentral Kuhn adalah paradigma.

       Menurutnya, ilmu yang sudah matang dikuasai oleh paradigma tunggal. Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa ilmu normal. Paradigma akan diperiksa dan dipertanyakan orang manakala seorang ilmuan dalam penelitiannya menjumpai gejala-gejala yang tidak bisa diterangkan melalui teorinya. Ketika itu ilmuan dapat mengembangkan paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing penelitian berikutnya. Pendapat Kuhn mengimplikasikan bahwa ilmu tidak berkembang secara kumulatif dan evolusioner, melainkan secara revolusioner. Dengan begitu, ilmu pengetahuan tak lepas dari faktor ruang dan waktu. Inilah penyerangan Kuhn terhadap pendirian positivistikrasionalistik.

       Tampilnya Kuhn dengan gagasan revolusi ilmu pengetahuan yang ditandai dengan adanya perubahan paradigma ternyata masih menyisakan kritik bagi Imre Lakatos, pemikir asal Hungaria yang lahir tahun 1922. Imre Lakatos menawarkan “metodologi program riset ilmiah” sebagai evaluasi dan kritik dari kekurangan yang ditinggalkan Kuhn. Tawaran Lakatos ini mendapat momentumnya sejak tahun 1965 ketika ia mempertemukan gagasan Popper dan Kuhn. “Metodologi Program Riset” ia maksudkan sebagai struktur metodologis yang memberikan bimbingan bagi riset masa depan dengan cara positif dan negatif. Dalam program riset ini terdapat aturanaturan metodologis yang disebut dengan “heuristik”, yaitu kerangka kerja konseptual sebagai konsekwensi dari bahasa.

       Heuristik adalah suatu keharusan untuk melakukan penemuanpenemuan melalui penalaran induktif dan percobaan-percobaan sekaligus menghindarkan kesalahan dalam memecahkan masalah. Menurut Lakatos, ada tiga elemen yang harus diketahui dalam kaitannya dengan program riset, yaitu : Pertama, inti pokok (hard-core), yakni asumsi dasar yang menjadi ciri program riset ilmiah. Inti pokok ini dilindungi dari ancaman falsifikasi. Kedua, lingkaran pelindung (protective belt) yang terdiri dari hipotesa-hipotesa bantu (auxiliary hypothese) dalam kondisi-kondisi awal. Elemen kedua ini harus menahan berbagai serangan, pengujian dan memperoleh penyesuaian, bahkan perubahan dan pergantian untuk mempertahankan hard-core. Dalam aturan metodologi riset, lingkaran pelindung ini disebut “heuristik positif” yang berfungsi menerangkan dan meramalkan fenomena-fenomena nyata. Ketiga, serangkaian teori (a series theory), yaitu keterkaitan teori dimana teori berikutnya merupakan akibat dan klausul bantu yang ditambahkan dari teori sebelumnya (Imre Lakatos, 1974:135).

       Dengan demikian, bagi Lakatos, yang harus dinilai ilmiah atau tidak ilmiah bukanlah teori tunggal, melainkan rangkaian beberapa teori. Dalam konteks ini, Lakatos sepenuhnya mendukung objektifitas Popper dan menghendaki program riset ilmiah menjadi pandangan objektif dan mendistorsi refleksi terhadap pemikiran manusia, baik yang menciptakan maupun yang memahami. Selanjutnya, kemunculan ilmu pengetahuan biologi (yang mengelaborasi gejala kehidupan material) dan fisika (yang mengelaborasi benda-benda mati) sebagai implikasi pola positivistik Comte yang diterapkan pada ilmu-ilmu alam, yang kemudian disusul oleh program riset ilmiah ala Lakatos, ternyata tidak serta merta memberikan kepuasan bagi para ilmuan, sosiolog, dan filosof dalam mengembangkan pengetahuan. Faktanya positivisme ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan Auguste Comte menyisakan persoalan serius terkait dengan hilangnya peran subjek. Maka muncullah upaya metodologis dengan tujuan mengembalikan peran subjek ke dalam proses keilmuan itu sendiri. Setidaknya ada tiga pendekatan yang sama-sama menawarkan metodologi baru yang lebih memposisikan subyek yang menafsirkan obyeknya sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam proses keilmuan, yaitu fenomenologi, hermeneutika, dan teori kritis.

       Yang disebut pertama, fenomenologi, merupakan aliran epistemologi yang dipopulerkan oleh Edmund Husserl (1859-1938). Sebagai sebuah tawaran epistemologi, fenomenologi membangun konsepnya pada dua prinsip, yakni prinsip epoche-eidetic vision dan konsep dunia-kehidupan (Dorion Cairns, 1976:231).

        Metode epoche merupakan langkah pertama, untuk mencapai esensi fenomena dengan menunda putusan lebih dahulu. Langkah kedua, Husserl menyebutnya dengan eidetic vision atau membuat ide. Artinya, menyaring fenomena untuk sampai ke eidetos-nya, sampai ke intisarinya, atau sejatinya (wesen). Hasil dari reduksi disebut wesenschau, artinya sampai pada hakikatnya. Dengan demikian, fenomenologi berupaya menangkap fenomena sebagaimana adanya (to show itself) atau menurut penampakkannya sendiri (veils itself). Kemudian konsep dunia-kehidupan dipahami oleh Husserl dengan dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antarsubyek.

       Kedua, Hermeneutika. Metodologi ini dikembangkan oleh Friederich Schleiermacher (1768-1834), Wilhem Dilthey (1838-1911), Gadamaer (1900-). Pada mulanya hermeneutika merupakan teori memahami teks-tulis atau kitab suci, dan kemudian berkembang menjadi teori memahami teks kehidupan sosial. Josep Bleicher mengembangkan hermeneutika menjadi tiga bagian, yaitu hermeneutika sebagai metodologi, hermeneutika sebagai sebuah filsafat dan hermeneutika sebagai kritik. Sementara itu Richard E. Palmer membaginya menjadi enam bagian, yaitu hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci, metode filologi, pemahaman lingistik, fondasi dan ilmu sosial-budaya, fenomenologi dasein dan hermeneutika sebagai pendekatan dalam ilmu sosial-budaya.

       Ketiga, Teori Kritis. Sebagai paradigma keilmuan, teori yang dilahirkan oleh para filosof yang tergabung dalam mazhab Frankfrut (Horkheimer, Adorno, dan Mascuse) mengalami perkembangan monumental di tangan Jurgen Habermas. Semula aliran mazhab Frankfurt ini mengkritisi pola liberalisme-kapitalisme masyarakat Barat modern, tetapi kehadiran Habermas disinyalir dapat memberi warna baru sehingga lebih dinamis. Semua teori sosial positivistis, teori Marxis, termasuk mazhab Frankfurt sama-sama dibangun atas dasar paradigma kerja‖ sehingga memperlakukan masyarakat sebagai objek alamiah. Habermas kemudian menekankan peranan kesadaran subjek dalam mengubah struktur-struktur objektif, dan karenanya analisisnya dipusatkan pada fenomena superstruktur (kebudayaan, ekonomi, agama, politik dan seterusnya), khususnya rasionalitas atau ideologi yang menggerakkannya.

      Perspektif baru yang dikembangkan oleh Habermas ini berkembang sangat pesat terutama di Prancis lewat Gaston Bachelard (1884-1962) dan Ferdinand Gonseth (1890-1976). Bachelard, misalnya, melihat pengetahuan sebagai sebuah proses menjadi yang memberi ruang bagi kerja para peneliti dan kritikus. Sejarah ilmu, kata Bachelar, adalah sejarah kesalahan ilmu (târikh al-ilm huwa târikh akhta‟ al ilm) (Richard E. Palmer). Oleh karenanya, kerja pemikiran adalah berpikir tentang realitas yang termasuk di dalamnya membaca fakta-fakta yang kabur atau disamarkan. Teori ini dipakai Al-Jâbirî dalam membaca pemikiran Arab-Islam dari sisi yang dikatakan dan tidak dikatakan oleh teks. Sementara itu Ferdinand Gonseth, seorang ilmuan matematik Swiss menerapkan sifat revisibilite (al qâbiliyyah li al murâja‟ah) bagi pengetahuan. Ini berarti pengetahuan harus tunduk kepada eksperimen, selalu diuji dan direvisi. Oleh karena pengetahuan selalu mengalami penafsiran maka kerja para ilmuan tidak mungkin berangkat dari vacuum. Inilah ilham yang mendasari para filosof Arab modern, seperti Muhammad Âbid Al-Jâbirî, Mohammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd dan lain-lain.

       Dari uraian sejarah epistemologi Barat, dari pra-Socrates hingga muculnya teori kritis yang dikembangkan Bachelard dan Gonseth, penyusun makalah ini, saya, ingin menggambarkan bahwa epistemologi yang dibangun oleh para pemikir kontemporer, termasuk pemikir Arab hari ini terinspirasi oleh aliran-aliran epistemologi sebelumnya.

2.7 Teori Komunikasi

Hypodermic Needly Theory (Jason dan Anne Hill, 1997), Teori yang mengasumsikan bahwa para pengelola media dianggap lebih pintar dibandingkan audience. Akibatnya, audience dapat dikelabui dengan sedemikian rupa dari apa yang disiarkannya. Teori ini mengasumsikan media massa mempunyai pemikiran bahwa audience bisa ditundukkan atau bisa dibentuk dengan cara apapun yang dkehendaki oleh media. (jarum hipodermik).

Cultivation Theory (Prof. George Gerbner), Teori yang memfokuskan kajiannya pada studi televisi dan audience yang mana televisi menjadi media atau alat utama dimana persepsi yang akan terbangun di benak penonton tentang masyarakat dan budaya sangat di tentukan oleh televisi.

Media Equation Theory (Byron Reeves dan Clifford), Teori yang mengasumsi bahwa media diibaratkan manusia. Teori ini memperhatikan bahwa media juga dapat diajak berbicara. Media bisa menjadi lawan bicara individu seperti dalam komunikasi interpersonal yang melibatkan dua orang dalam keadaan face to face. Misalnya, kita berbicara (meminta pengolahan data) dengan computer seolah-olah computer itu manusia. Kita juga menggunakan media lain untuk berkomunikasi. Bahkan kita berperilaku secara tidak sadar seolah-olah media itu adalah manusia.

Spiral Of Silence Theory / Teori Spiral Keheningan (Elizabet Noelle-Neumann), Teori yang menyembunyikan pendapat dan pandangannya ketika berada dalam kelompok mayoritas. Yang mana alasannya agar diterima dalam kelompok mayoritas,

Tecnological Determinisme Theory (Marshall McLuhan, 1962), Teknologi yang membentuk individu bagaimana cara berpikir, berperilaku dalam masyarakat, dan teknologi tersebut akhirnya mengarahkan manusia untuk bergerak dari satu abad teknologi ke abad teknologi yang lain.

Diffusion of Innovation Theory (Roger dan Shoemaker, 1971), Teori yang mana adanya inovasi(penemuan), lalu disebarkan (difusi) melalui media massa akan kuat memengaruhi massa untuk mengikutinya. peran pemimpin opini dalam memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Artinya, media massa mempunyai pengaruh yang kuat dalam menyebarkan penemuan baru.

Uses and Gratifications Theory (Herbert Blumer dan Elihu Katz, 1974), Pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha untuk mencari sumber media yang paling baik di dalam usaha memenuhi kebutuhannya. Artinya, teori uses and gratifications mengasumsikan bahwa pengguna mempunyai pilihan alternative untuk memuaskan kebutuhannya.

Agenda Setting Theory (Max McCombs dan Shaw, (1973), Secara singkat teori penyusunan agenda ini mengatakan media tidak selalu berhasil memberitahu apa yang kita pikir, tetapi media tersebut benar-benar berhasil memberitahu kita berpikir tentang apa. Media massa mengarahkan kita pada apa yang harus kita lakukan. Media memberikan agenda-agenda melalui pemberitaannya, sedangkan masyarakat akan mengikutinya menurut asumsi teori ini media mempunyai kemampuan untuk menyeleksi dan mengarahkan perhatian masyarakat pada gagasan atau peristiwa tertentu. Media mengatakan pada kita apa yang penting dan apa yang tidak penting. Media pun mengatur apa yang harus kita lihat, tokoh siapa yang harus kita dukung (apa yang diberitakan oleh media, maka pembicaraan masyarakat juga sama seperti yang diagendakan media.

2.8 Proses Pembentukan, Pengenalan dan Penyelesaian Persoalan

Pada dasarnya riset dapat dikatagorikan menjadi dua jenis:

1.      Basic research / penelitian dasar mengembangkan suatu teori atau konsep dalam bidang tertentu, dan

2.      Applied research / penelitian terapan berkaitan dengan suatu penerapan teori untuk mendapatkan perbandingan, hasil kinerja atau menghasilkan suatu produk yang membantu manusia.

Dari kedua jenis riset tersebut, adalah penting untuk menentukan permasalahan yang akan dibahas dan diselesaikan. Permasalahan tersebut biasanya berupa pertanyaaan yang jawabannya memberikan hal baru yang berbeda. Dan permasalahan tersebut mengembangkan pengetahuan tentang sesuatu misalnya cara berpikir yang baru tentang sesuatu, kemungkinan baru dalam penerapan atau membuka jalan bagi penelitian selanjutnya.

Permasalahan adalah pangkal (titik tolak) penelitian, tidak akan ada riset kalau tidak ada masalah. Intinya, permasalahan adalah segala sesuatu yang dihadapi atau dirasakan oleh seseorang yang menimbulkan kebutuhan untuk dibahas dan dicari jawabannya. Sumber permasalahan adalah sesuatu yang objektif, akan tetapi permasalahan selalu bersifat subjektif. Kejadian yang sama dapat menimbulkan persoalan yang berbeda dalam diri pengamat yang berbeda. Bagan alir di atas menggambarkan proses pembentukan, pengenalan dan penyelesaian persoalan. Proses bersifat mundur, berarti kalau perlu tiap langkah dijalani berulang sampai diperoleh cara pemecahan yang dapat diterima (notohadiprawiro 2006).

2.9 Metode Utama Ilmu Komunikasi

1)         Metode Induktif

Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis. Pada dasarnya di dalam ilmu pengetahuan dalam bidang dan disiplin apa pun, baik ilmu-ilmu humaniora, sosial maupun ilmu-ilmu alam masingmasing menggunakan metode yang sama. Jika ada perbedaan, hal itu tergantung pada jenis, sifat, dan bentuk objek material dan objek formal yang tercakup di dalamnya pendekatan (approach), sudut pandang (points of view), tujuan, dan ruang lingkup (scope) masing-masing disiplin itu.

Kata metode berasal dari kata Yunani methodos, sambungan kata depan meta (menuju, melalui, mengikuti, sesudah) dan kata benda hodos (jalan, perjalanan, cara, arah) kata methodos sendiri lalu berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah, uraian ilmiah. Metode ialah cara bertindak menurut sistem aturan tertentu (Anton Bakker, 1984 : 10). Jadi, metode bisa dirumuskan suatu proses atau prosedur yang sistematik berdasarkan prinsip dan teknik ilmiah yang dipakai oleh suatu disiplin (bidang studi) untuk mencapai suatu tujuan. Adapun metodologi adalah pengkajian mengenai model atau bentuk metode, aturan yang harus dipakai dalam kegiatan ilmu pengetahuan. Jika dibandingkan antara metode dan metodologi, maka metodologi lebih bersifat umum dan metode bersifat khusus (Suparlan Suhartono, 25 : 94-95).

Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan pernyataan hasil observasi dalam suatu pernyataan yang lebih umum dan menurut suatu pandangan yang luas diterima, ilmu-ilrnu empiris ditandai oleh metode induktif, disebut induktif bila bertolak dari pernyataan tunggal seperti gambaran mengenai hasil pengamatan dan penelitian orang sampai pada pernyataan ­pernyataan universal. David Hume telah membangkitkan pertanyaan mengenai induksi yang membingungkan para filosof dari zamannya sampai sekarang. Menurut Hume, pernyataan yang berda observasi tunggal betapapun besar jumlahnya, secara logis tak dapat menghasilkan suatu pernyataan umum yang tak terbatas. dalam induksi setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan ha-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi juga akan mengembang, bertotak dari teori ini kita tahu bahwa logam lain yang kalau dipanasi juga akan mengambang. Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang disebut juga dengn pengetahuan sintetik (Bakhtiar, 2004).

Metode induksi adalah suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat khusus, kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum. Apabila orang menerapkan cara penalaran yang bersifat induktif berarti orang bergerak dari bawah ke atas. Artinya, dalam hal ini orang mengawali suatu penalaran dengan memberikan contoh-contoh tentang peristiwa-peristiwa khusus yang sejenis kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum. (Sudarto, 2002). Telah dijelaskan diatas bahwa metode ini merupakan kesimpulan umum berdasarkan data-data khusus yang terdiri atas langkah-langkah dalam wiramihardja (2007: 121-122)  sebagai berikut :

1)     Perumusan hipotesis, Sebuah hipotesis merupakan sebuah jawaban sementara terhadap masalah yng diselidiki. Kebenaran hipotesis tersebut harus diuji dalam penelitian. Hendaknya, hipotesis ini berdasarkan perumusan anggapan dasar, yaitu pendapat yang mendasari hipotesis itu dipandang benar tanpa pembuktian.

2)     Pengumpulan data, Data dikumpulkan atas dasar hipotesis. Hasil penyelidikan bergantung pada ketertiban pengumupulan data ini. Pengumupulan data dilakukan berdasarkan observasi dan eksperimen.

3)     Klasifikasi data, Data harus diklasifikasikan untuk memungkinkan ditariknya kesimpulan. Generalisasi, Inilah yang dimaksud dengan kesimpulan, yaitu suatu pendapat yang bersifat umum, kerap kali disebut hukum atau kaidah. Metode ini oleh Windelband disebut nomotetis. Metode berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal yang bersifat khusus untuk menentukan kesimpulan yang bersifat umum. Dalam penalaran induktif ini, kesimpulan ditarik dari sekumpulan fakta peristiwa atau pernyataan yang bersifat umum.

Contoh:

Bukti 1: logam 1 apabila dipanaskan akan memuai

Bukti 2: logam 2 apabila dipanaskan akan memuai

Bukti 3: logam 3 apabila dipanaskan akan memuai

Kesimpulan: Semua logam apabila dipanaskan akan memuai.

2)         Metode Deduktif

Metode deduksi adalah suatu cara yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yag bersifat umum, kemudian menarik kesimpulan yang bersifat khusus. Apabila orang menerapkan cara penalaran yang bersifat deduktif berarti orang bergerak dari atas menuju ke bawah. Artinya, sebagai langkah pertama orang menentukan satu sikap tertentu dalam menghadapi masalah tertentu, dan berdasarkan aatas penentuan sikap tadi kemudian mengambil kesimpulan dalam tingkatan yang lebih rendah.

Metode deduktif adalah cara analisis dari kesimpulan umum atau generalisasi yang diuraikan menjadi contoh-contoh kongkrit atau fakta-fakta untuk menjelaskan kesimpulan atau jeneralisasi tersebut. Misalnya: petani selalu rugu dalam mengembangkan usahanya. Kemudian dijabarkan fakta-fakta tentang angka-angka produksi dibandingkan modal usaha, dan sebagainya. Metode Deduktif digunakan dalam sebuah penelitian disaat penelitian berangkat dari sebuah teori yang kemudian di buktikan dengan pencarian fakta. Contoh: Penelitian bahasa Arab kebanyakannya berangkat dari kaidah-kaidah bahasa Arab kemudian dicarilah fakta-fakta yang terdapat dalam sumber data, dalam hal ini sumber datanya al-Qur’an.

Penalaran deduktif berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum. Dalam hal ini penalaran induktif merupakan kebalikan dari penalaran deduktif. Untuk turun ke lapangan dan melakukan penelitian tidak harus memliki konsep secara canggih tetapi cukup mengamati lapangan dan dari pengamatan lapangan tersebut dapat ditarik generalisasi dari suatu gejala. Dalam konteks ini, teori bukan merupakan persyaratan mutlak tetapi kecermatan dalam menangkap gejala dan memahami gejala merupakan kunci sukses untuk dapat mendiskripsikan gejala dan melakukan generalisasi. Contoh : Masyarakat Indonesia konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan arti sebuah kesuksesan (khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media hiburan yang menampilkan gaya hidup konsumtif sebagai prestasi sosial dan penanda status sosial.

Metode deduktif adalah suatu metode yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagian yang khusus. Hal ini adalah suatu sistem penyusunan fakta yang telah diketahui sebelumnya guna mencapai suatu kesimpulan yang logis. Dalam penalaran deduktif, dilakukan melalui serangkaian pernyataan yang disebut silogisme dan terdiri atas beberapa unsur yaitu:

1.         Dasar pemikiran utama (premis mayor)

2.         Dasar pemikiran kedua (premis minor)

3.         Kesimpulan

Contoh:

Premis mayor : Semua siswa SMA kelas X wajib mengikuti pelajaran Sosiologi.

Premis minor : Bob adalah siswa kelas X SMA.

Kesimpulan : Bob wajib mengikuti jam pelajaran Sosiologi.

Metode ini diawali dari pembentukan teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian di lapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala. Penalaran deduktif tergantung pada premisnya. Artinya, premis yang salah mungkin akan membawa kita kepada hasil yang salah, dan premis yang tidak tepat juga akan menghasilkan kesimpulan yang tidak tepat.

Penarikan secara langsung ditarik dari 1 premis. Penarikan secara tidak langsung ditarik dari 2 premis. Premis pertama yang bersifat umum sedangkan premis kedua bersifat khusus. Jenis penalaran deduktif yang menarik kesimpulan secara tidak langsung yaitu: (1)Silogisme kategorial, (2)Silogisme hipotesis, (3)Silogisme alternative, (4)Entimen.

1)     Silogisme Kategorial yaitu Silogisme yang terjadi dari tiga proposisi:

·        Premis umum: Premis Mayor (My).

·        Premis khusus: remis Minor (Mn).

·        Premis kesimpulan: premis kesimpulan (K), dalam simpulan terdapat subjek dan predikat. Subjek simpulan disebut term mayor, dan predikat simpulan disebut term minor.

Contoh silogisme kategorial:

My       : semua mahluk hidup bisa bernafas.

Mn       : kucing adalah mahluk hidup.

K         : kucing bisa bernafas.

2)     Silogisme hipotesis yaitu silogisme yang terdiri atas premis mayor yang berproposisi konditional hipotesis. Konditional hipotesis yaitu: bila premis minornya membenarkan anteseden, simpulannya membenarkan konsekuen. Bila minornya menolak anteseden, simpulannya juga menolak konsekuen.

Contoh silogisme hipotesis:

My       : jika tidak ada uang manusia sangat kesulitan tuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Mn       : Uang tidak ada.

K         : jadi, manusia akan kesulitan tuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

3)     Silogisme Alternatif yaitu silogisme yang terdiri atas premis mayor berupa proposisi. Proposisi alternatif yaitu bila premis minornya membenarkan salah satu alternatifnya. Simpulannya akan menolak alternatif yang lain.

Contoh silogisme alternatif:

My       : Kucing berada di dalam rumah atau di luar rumah.

Mn       : Kucing berada di luar rumah.

K         : Jadi, kucing tidak berada di dalam rumah.

4)     Entimen, silogisme ini jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tulisan maupun lisan. Yang dikemukakan hanya premis minor dan simpulan.

Contoh Entimen:

·        Dia naik jabatan karena ia rajin bekerja.

·        Anda naik gaji karena anda berhak menerima kenaikan jabatan itu.

Manfaat Mempelajari Sejarah Perkembangan Ilmu Komunikasi. Mempelajari sejarah perkembangan ilmu komunikasi dapat memberikan beberapa manfaat diantaranya adalah :

·        Kita memahami perjalanan sejarah perkembangan ilmu komunikasi yang berakar dari retorika hingga publisistik.

·        Kita memahami akar ilmu komunikasi yaitu ilmu pernyataan manusia atau retorika beserta perkembangannya.

·        Kita memahami ilmu persuratkabaran yang berakar dari retorika beserta perkembangannya.

·        Kita memahami ilmu publisistik yang berakar dari ilmu persuratkabaran beserta perkembangannya.

·        Kita memahami ilmu komunikasi yang juga berakar dari ilmu persuratkabaran beserta perkembangannya.

·        Kita memahami cakupan ilmu komunikasi yang meliputi konteks komunikasi, bidang komunikasi, sifat komunikasi, dan tujuan komunikasi.

Demikianlah ulasan singkat tentang sejarah perkembangan ilmu komunikasi yang berawal dari masa Yunani dan Romawi hingga kini. Semoga memberikan tambahan wawasan dan pengetahuan tentang ilmu komunikasi.

Elemen-elemen Komunikasi, seperti yang sudah dikatakan di awal bahwa komunikasi memiliki elemen-elemen yang penting satu sama lain bahkan sampai membuat mereka memiliki sifat terikat. Berikut ini elemen-elemen komunikasi.

1.      Sumber (Source), Menurut Shannon, elemen sumber seperti namanya merupakan sumber dari segala informasi yang didapatkan.

2.      Pengirim (Sender) Menurut Shannon, elemen kedua merupakan pihak yang berperan sebagai penyebar atau juga bisa disebut pemancar kepada penerima.

3.      Saluran (Channel), Menurut Shannon, saluran berperan sebagai perantara yang digunakan untuk mengirim sinyal sehingga dapat membantu pengirim dalam memancarkan pesannya.

4.      Penerima (Receiver), Menurut Shannon, penerima merupakan pihak yang melakukan kegiatan yang berkebalikan dengan pengirim.

5.      Tujuan (Destination), Menurut Shannon, tujuan memiliki arti untuk siapa pesan tersebut dipancarkan oleh pemancar ke penerima.

6.      Pesan (Message), Suatu hal yang dikirimkan oleh pemancar atau pengirim kepada penerima, biasanya isinya dapat berbentuk fisik, tulisan, rekaman, ataupun berbentuk visual verbal yang akan diterima oleh penerimanya.

7.      Tanggapan (Feedback), Berupa balasan yang didapatkan oleh pengirim dari penerima yang sudah menerima pesan dari pengirim.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

       Dari uraian di atas maka, dapat disimpulkan bahwa tidak kurang dari 20 abad lamanya para filosof tak henti-hentinya memikirkan tentang realitas, mulai dari Thales sampai Thomas Khun. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dengan seabreg problem yang mengitarinya selama itu pula berbagai temuan mewarnai percaturan dunia, mulai dari „arche‟nya filosof pra-Socrates, definisi Socrates, idealisme Plato, hylemorfisisme Aristoteles, emanasi Plotinus hingga persoalan teologi para filosof abad pertengahan. Temuan-temuan ini telah mendorong filosof Barat modern, Rene Descartes untuk memikirkan bagaimana manusia mendapatkan pengetahuan? Inilah yang dimaksud dengan persoalan-persoalan epistemologis.

      Pengetahuan yang didasarkan kepada kebenaran apriorirasio ini mendapat sanggahan dari mazhab empirisme John Locke, yang menurutnya seluruh pengetahuan bersumber dari pengalaman, bukan dari ide-ide bawaan apriori. Gagasan epistemologi berikutnya adalah sintesa rasionalisme dan empirisme oleh Imanuel Kant dengan memunculkan phenomena dan noumena. Setelah Kant, muncul pemikiran epistemologi positivistik Auguste Comte dengan menggabungkan deduksi rasional dan induksi empirik sebagai satu-satunya paradigma yang dapat dipegang untuk menghasilkan pengetahuan yang benar.

      Dominasi epistemologi positivistik ini mencapai kematangannya di tangan Vienna Circle (lingkaran Wina), yang melahirkan pandangan baru yang disebut positivisme logis. Mereka memberi batas pada kenyataan yang bermakna (meaningful) dan tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kemungkinan untuk diverifikasi. Gagasan para sarjana Wina tersebut kemudian digantikan oleh Karl Raimund Popper melalui pembedaan ungkapan “ilmiah” dan “tidak ilmiah”.

       Di sini kriteria ilmiah dan tidak ilmiah adalah falsifibilitas. Setelah Popper, epistemologi mengalami perkembangan baru, dengan munculnya Thomas Kuhn yang mengusung paradigma. Menurutnya, ilmu yang sudah matang dikuasai oleh paradigma tunggal yang membimbing kegiatan ilmiah. Ilmu tidak berkembang secara kumulatif dan evolusioner, melainkan secara revolusioner. Tampilnya Kuhn dengan gagasan revolusi ilmu pengetahuan yang ditandai dengan adanya perubahan paradigma ternyata masih menyisakan kritik bagi Imre Lakatos, yang menawarkan “metodologi program riset ilmiah” sebagai evaluasi dari kekurangan yang ditinggalkan Kuhn. Riset ilmiah ala Lakatos, ternyata tidak serta merta memberikan kepuasan bagi para ilmuan, sosiolog, dan filosof dalam mengembangkan pengetahuan. Faktanya positivisme ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan Comte menyisakan persoalan serius terkait dengan hilangnya peran subjek. Inilah yang kemudian melatarbelakangi lahirnya filsafat epistemologi yang dikembangkan Edmund Husserl melalui fenomenologi, Habermas melalui hermeneutika, dan Ferdinand Gonseth melalui teori kritis.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin.1992. Aspek Epistemologis Filsafat Islam, dalam
               Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis,
               Historis, Prospektif, ed. Irma Fatimah.
Yogyakarta : Lembaga
               Studi Filsafat Islam [LESFI].

Al Ghazali, Abu Hamid. Ihya Ulumuddin III, Isa Al Baby Al Halabi.

A. M. Saefuddin et.al. 1998. Desekularisasi Pemikiran: landasan
                Islamisasi
, Cet. IV, Bandung : Mizan.

Arikunto, Suharsimi. 2012. Prosedur Penelitian, Jakarta : Rineka Cipta.

C. Verhaak. 1991. Filsafat Ilmu Pengetahuan, Telaah Atas Cara Kerja Ilmu,
                 Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

D. Aiken, Henry. 1974. The Age of Ideology, New York : The New American
                  Library of World Literature Inc.,
hlm. 61.

D. W. Hamlyin. 1972. “Epistemology,” in Paul Edwards, ed., The
                 Encyclopedia of Philosophy
, vol., III, New York : Macmillan
                 Publishing Co., Inc., and The Free Press.

Fu‘ad Farid Ismail dan Abdul Hamid Mutawalli. 2003. Cepat Menguasai
               Ilmu Filsafat
, Yogyakarta : IRCiSoD.

Hadi, P. Hardono. 1994. Epistemologi, saduran dari Kenneth T. Gallagher,
                 “The Philosophy of Knowledge
”, Yogyakarta : Kanisius.

H. Titus, Harold, dkk. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat (trj). Jakarta :

               Bulan Bintang.

Iman Santosa, Nyong Eka Teguh. 2015. Fenomena Pemikiran Islam,
               Sidoarjo : Uru Anna Books.

Imre Lakatos dan Alan Musgrave (ed.). 1957. Critisme and the Growth of

                  Knowledge, Cambridge : Cambridge University Press.

L. O. Kattsoff. 1987. Pengantar Filsafat, (tjm). Yogyakarta : Tiara Wacana.

M. A. Brouwer. 1986. Sejarah Filsafat Barat Modern, Bandung : Alumni,
                 Bertrand Russel, History of Western Philosophy, London :
                 George Allan, 1945, hlm. 94-95.

M. Hatta. 1986. Alam Pikiran Yunani, Jakarta : Tintamas.

Miska Muhammad Amin. 1983. Epistemologi Islam : Pengantar Filsafat
                Pengetahuan Islam
, Jakarta : UI Press.

M. J. Langiveld. 1979. Menuju Pemikiran Filsafat, Jakarta : Pustaka
                 Sarjana.

Muhammad Baqir Ash-Shadr. 1999. Falsafatuna terhadap Belbagai Aliran
                 Filsafat Dunia, Cet. VII, Bandung : Mizan.

Palmer, Richard E. 1969. Hermeneutics : Interpretation Theory in
                  Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer
, Eavanston :
                  Nortwestern University Press, hlm. 35.

Paul Edward (Ed.). 1972. The Encyclopedia of Philoshophy, New York-
                 London : Mac Millan Publishing Co. Inc.

Robert Ackermann. 1965. Theories of Knowledge : A Critical Introduction,
                 New York : McGraw-Hill Company.

Russel, Bertrand. 1961. History of Western Philosophy and Its Connection
                 with Political and Social Circumstances from the Earliest Times
                 to the Present Day
, London : Geoege Allen and Unwin Ltd.

Saefullah, Chatib. 1995. Pemikiran Seyyed Hossein Nasr Tentang
                  Epistemologi, Tesis, Jakarta : Magistes PPs IAIN Jakarta, , hlm.
                  59.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif

              (Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta : Rajawali Pers.

Sumantri, Jujun S. 1995. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta :
               Pustaka Sinar Harapan.

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. 1996. Filsafat Ilmu,
               Yogyakarta : Liberty.

Thomas Mautner (ed.). 2000. The Penguin Dictionary of Philosophy,

                London : Penguin Book Ltd.

Will Durant. 1996. Qishah al-Falsafah Min Aflathon ilâ John Dewey, alih
                 bahasa Fathullah Muhammad Al-Musya‘sya‘, Beirut : Al-
                 Ma‘ârif, tt. K. Bertens
, Filsafat Barat Abad XX : Prancis, Jakarta

                 : Gramedia.

W. Wildelband. 1956. History of Ancient Philosophy, trans., Herbert Ernest
                Cushman, New York : Dover Publication Inc.

 

Komentar