MAKALAH FILSAFAT DAN ETIKA
KOMUNIKASI
EPISTEMOLOGI
KOMUNIKASI
Dosen
Pengampu :
Dr. Nuriyati
Samatan, Dra., M.Ag
Disusun Oleh Kelompok 2 - 9 IK 01 :
1. Ferta
2. Fitrah Nur Islamiah
3. Nurhadi
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2022
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan petunjuk-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah Filsafat
dan Etika Komunikasi (Epistemologi) dengan baik.
Penulis ucapkan terima
kasih kepada :
1.
Dr. Nuriyati Samatan, Dra., M.Ag selaku Dosen
Pengampu,
2.
Orangtua yang sudah memberikan dukungan kepada
penulis,
3.
Serta teman-teman yang sudah membantu penulis
dalam penyelesaian Makalah ini.
Kami menyadari makalah
ini jauh dari kata sempurna untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami
butuhkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya untuk kami dan umumnya
untuk para pembaca.
Depok, 10 Juli 2022
HALAMAN JUDUL..........................................................................................i
KATA
PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR
ISI.....................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1
Latar
Belakang...............................................................................1
1.2
Rumusan
Masalah..........................................................................5
1.3
Tujuan
Pembuatan Makalah...........................................................6
1.4
Manfaat
Pembuatan Makalah.........................................................6
BAB II
PEMBAHASAN...................................................................................7
2.1
Konsep Dasar Epistemologi............................................................7
2.2
Ilmu Pengetahuan dan Metodologi Riset........................................9
2.3
Sumber, Metode, dan Analisis……....……...................................12
2.4
Epistimologi Komunikasi Sebagai Disiplin Berpikir Menghasilkan Teori Komunikasi.............................................................................................17
2.5
Paradigma Pendekatan Komunikasi..............................................20
2.6
Sejarah Perkembangan Ilmu
Komunikasi.....................................20
2.7
Teori Komunikasi..........................................................................32
2.8
Proses Pembentukan, Pengenalan dan Penyelesaian Persoalan....34
2.9
Metode Utama Ilmu Komunikasi..................................................35
BAB III PENUTUP..........................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejarah filsafat tidak selalu lurus
terkadang berbelok kembali ke belakang, sedangkan sejarah ilmu selalu maju.
Dalam sejarah pengetahuan manusia, filsafat dan ilmu selalu berjalan beriringan
dan saling berkaitan. Filsafat dan ilmu mempunyai titik singgung dalam mencari
kebenaran. Ilmu bertugas melukiskan dan filsafat bertugas menafsirkan fenomena
semesta, kebenaran berada disepanjang pemikiran, sedangkan kebenaran ilmu
berada disepanjang pengalaman. Tujuan berfilsafat menemukan kebenaran yang sebenarnya.
Jika kebenaran yang sebenarnya itu disusun secara sistematis, jadilah ia
sistematika filsafat. Sistematika filsafat itu biasanya terbagi menjadi tiga
cabang besar filsafat, yatu teori pengetahuan, teori hakikat, dan teori nilai.
Ilmu pengetahuan sebagai produk kegiatan
berpikir yang merupakan obor peradaban dimana manusia menemukan dirinya dan
menghayati hidup lebih sempurna. Bagaimana masalah dalam benak pemikiran
manusia telah mendorong untuk berfikir, bertanya, lalu mencari jawaban segala
sesuatu yang ada, dan akhirnya manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Pada
hakikatnya aktifitas ilmu digerakkan oleh pertanyaan yang didasarkan pada tiga
masalah pokok yakni: Apakah yang ingin diketahui, bagaimana cara memperoleh pengetahuan
dan apakah nilai pengetahuan tersebut. Kelihatannya pertanyaan tersebut sangat
sederhana, namun mencakup permasalahan yang sangat asasi. Maka untuk
menjawabnya diperlukan sistem berpikir secara radikal, sistematis dan universal
sebagai kebenaran ilmu yang dibahas dalam filsafat keilmuan (Am. Saefuddin,
1998:31).
Epistemologi selalu menjadi bahan yang
menarik untuk dikaji karena disinilah dasar-dasar pengetahuan maupun teori
pengetahuan yang diperoleh manusia menjadi bahan pijakan. Konsep-konsep ilmu
pengetahuan yang berkembang pesat dewasa ini beserta aspek-aspek praktis yang
ditimbulkannya dapat dilacak akarnya pada struktur pengetahuan yang
membentuknya. Dari epistemologi, juga filsafat dalam hal ini filsafat modern
terpecah berbagai aliran yang cukup banyak, seperti rasionalisme, pragmatisme,
positivisme, maupun eksistensialisme dan lain-lain.
Epistemologi dari bahasa yunani episteme (pengetahuan) dan Logos (ilmu)
adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis
pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan
dibahas dalam bidang Filsafat (Nyong Eka Teguh, 2015:47), misalnya tentang apa
itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungan dengan
kebenaran dan keyakinan.
Epistemologi atau teori pengetahuan yang
berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian,
dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan
yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia
melalui akal dan panca indra dengan berbagai metode, diantaranya : metode
induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode
dialektis (Surajiyo, 2008:53). Epistemologi dapat diartikan sebagai teori
tentang pengetahuan yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge. Istilah
epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar
dan dalam bahasa Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara terminology epistemology adalah teori
mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat tentang pengetahuan.
Masalah utama dari epistemologi adalah
bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Sebenarnya seseorang baru dapat
dikatakan berpengetahuan apabila telah sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan
epistemologi artinya pertanyaan epistemologi dapat menggambarkan manusia
mencintai pengetahuan. Hal ini menyebabkan eksistensi epistemologi sangat urgen
untuk menggambar manusia berpengetahuan, yaitu dengan jalan menjawab dan
menyelesaikan masalah-masalah yang dipertanyakan dalam epistemologi. Makna
pengetahuan dalam epistemologi adalah nilai tahu manusia tentang sesuatu
sehingga ia dapat membedakan antara satu ilmu dengan ilmu yang lainnya.
Sementara itu, dalam kitabnya Al Ghazali mengungkapkan bahwa manusia bisa
menangkap realitas sebagai sumber ilmu dengan dua cara, yaitu dengan melakukan
pengamatan dan dilanjutkan dengan penalaran serta dengan menyibak tabir-tabir
intuisi untuk menemukan kebenaran sejati. Cara yang pertama beliau sebut dengan
ilmu i‘tibar atau istibahar sedang cara yang kedua beliau sebut dengan ilham
atau wahyu (Abu Hamid Al Ghazali, 17).
Secara epistemologis, dengan adanya dua
alternatif mencapai kebenaran, maka ada dua cara pula yang harus ditempuh.
Untuk memperoleh kebenaran I‟tibary, cara yang ditempuh adalah dengan
mengaktifkan akal untuk menerima ilmu yang berasal dari pengamatan, dan dengan
melakukan serangakaian percobaan untuk mengetahui akibat-akibat yang terjadi di
masa datang (prinsip-prinsip?). Sedangkan untuk memperoleh kebenaran yang
berupa ilham tidak ada jalan lain kecuali dengan mendekatkan diri kepada Allah
dan mengasingkan diri dari kehidupan manusia agar terbuka pintu alam malakut
sehingga dapat mencapai jauh almahfur untuk mendapatkan kebenaran yang sejati.
Namun demikian beliau mengatakan bahwa sebelum menempuh jalan tersebut
hendaknya terlebih dahulu menempuh jalan yang ditempuh oleh para ulama (ahli
fikih) dan memahami apa yang mereka ucapkan. Setelah itu barulah menunggu terbukanya
tabir untuk mencapai kebenaran yang sejati.
Sekali lagi, bahwa Epistemologi adalah
cabang ilmu filsafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang mengitari
teori ilmu pengetahuan. Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep
ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara 'alim
(subjek) dan ma'lum (objek). Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian
filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana
memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model
filsafat. Dengan pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter
pengetahuan, bahkan menentukan kebenaran macam apa yang dianggap patut diterima
dan apa yang patut ditolak.
Dalam pandangan Harun Nasution epistemologi
ialah ilmu yang membahas: apa itu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh
pengetahuan (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 1996:17).
Selanjutnya The Liang Gie mengutip dari The
Encyclopedia of Philosophy menguraikan “epistemologi sebagai cabang
filsafat yang bersangkutan dengan sifat dasar dan ruang lingkup pengetahuan,
praanggapan dan dasardasarnya serta realibilitas umum dan tuntutan akan
pengetahuan” (Miska Muhammad Amin, 1983: 3). Dalam pengertian lain,
epistemologi diartikan sebagai “the
branch of philosopy which investigates the origins, structure, methods and
validity of knowledge.” Jadi epistemologi merupakan bagian filsafat yang
membahas secara mendalam mengenai hakikat dan kebenaran sebuah pengetahuan,
serta metode dan sistem untuk memperoleh pengetahuan (Harold H. Titus, dkk,
1984:187-188).
Epistemologi
bersentuhan dengan tiga persoalan pokok (Jujun S. Sumantri, 1995:33), yaitu:
1.
Apakah
sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang
dan bagaimanakah kita mengetahuinya?
2.
Apakah
sifat dasar pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benarbenar di luar pikiran
kita, dan kalau ada, apakah dapat diketahui?
3.
Apakah
pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimanakah kita dapat membedakan yang
benar dari salahnya? Atau menurut Jujun S. Sumantri, Epistemologi menyoal
tentang bagiamana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa
ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang diperhatikan agar mendapatkan
pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah
kreterianya ? cara atau teknik sarana apa yang membantu dalam mendapatkan
pengetahuan berupa ilmu?.
Dua persoalan yang pertama berkaitan
dengan apa yang kelihatan (phenomena)
dan hakikat (noumena), sedangkan yang
terakhir adalah soal mengkaji kebenaran atau verifikasi. Sederhananya, aspek
epistemologi ilmu itu meliputi sumber, sarana-sarana dan tata cara menggunakan
sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan ilmiah.
Plato dapat dikatakan sebagai filsuf
pertama yang secara jelas mengemukakan epistemologi dalam filsafat, meskipun ia
belum menggunakan secara resmi istilah epistemologi ini. Filsuf Yunani
berikutnya yang berbicara tentang epistemologi adalah Aristoteles. Ia murid
Plato dan pernah tinggal bersama Plato selama kira-kira 20 tahun di Akademia.
Dan persoalan dalam epistemologi ini, sebenarnya tidak lebih dari pengaruh
pendapat dua tokoh filsafat ini. Misalnya, Pertama, aliran yang sangat
menekankan pentingnya akal, ide, dan ketegori-kategori maupun form sebagai
sumber pengetahuan. Sementara aliran Kedua, justru mempertautkan peran indera
(sentuhan, penciuman, penglihatan, dan lainnya) sebagai sumber pengetahuan.
Sehingga peran akal, menjadi sisi nomor dua (Kattsoff, 1987:143). Jika Idealisme
pada mulanya dipelopori oleh Plato, maka Materealisme dimotori oleh
Aristoteles. Dari uraian tersebut, maka kelompok kami tertarik untuk menyusun
makalah ini dengan judul, “Epistemologi”.
1.
2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah
makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
pengertian dan sejarah Epistemologi serta pemikiran Epistemologi?
1.
3 Tujuan Pembuatan Makalah
Untuk
mengetahui dan mengupas bagaimana Epistemologi dalam Filsafat dan Etika Komunikasi
serta sejarah dari Epistemologi.
Ø
Manfaat
Akademis
Untuk menambah wacana pengetahuan
studi tentang Epistemologi dalam Filsafat dan Etika Komunikasi serta sejarah
dari Epistemologi
Penelitian ini diharapkan
bermanfaat untuk rekomendasi terkait hal yang sama.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar
Epistemologi
Epistemologi dari bahasa yunani Episteme
(pengetahuan) dan Logos (ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan
dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa epistemologi adalah pengetahuan sistematik tentang pengetahuan. Istilah
ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua
cabang filsafat, yakni epistemology dan ontology (on=being, wujud, apa + logos
= teori), ontology (teori tenang apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh
secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tidak
ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau
singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi
dan diorganisasi sedemikian rupa, sehingga memenuhi asas pengaturan secara
prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji
kebenaran ilmiahnya, sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau
secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Jujun S.
Suriasumantri (1985 : 34-35), Epistemologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode, struktur dan validitas atau
kebenaran pengetahuan. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan epistemologi
mempertanyakan bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang
berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar
kita mendapatkan pengetahuan yang benar apa yang disebut kebenaran itu sendiri?
Apakah kriterianya? Cara atau teknik atau sarana apa yang membantu kita dalam
mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
Secara singkat dapat
dikatakan bahwa epitemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang
mempersoalkan mengenai masalah hakikat pengetahuan. Dengan kata lain,
epistemology meruakan disiplin filsafat yang secara khusus hendak memperoleh
pengetahuan tentang pengetahuan. Sedangkan pengetahuan yang tidak ilmiah adalah
masih tergolong prailmiah. Dalam hal ini, berupa pengetahuan hasil sarana
inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah ada maupun baru didapat.
Disamping itu, sesuatu yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran,
seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi). Dengan kata lain, pengetahuan
ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara
prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan
verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan
yang pra-ilmiiah, sesungguhnya dieroleh secara sadar dan aktif, namun bersifat
acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak
dimasukkan dalam ilmu. Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena tidak
diperoleh secara sistematis-metodologis ada yang cenderung menyebutnya sebagai
pengetahuan “naluriah”. Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang
lazim disebut tahap-mistik, tidak terdapat perbedaandiantara
pengetahuan-pengetahuan yang berlaku juga untuk obyek-obyeknya, pada tahap
mistik ini, sikap manusia seperti dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di
sekitarnya, sehingga semua obyek tampil dalam kemestaan dalam artian satu sama
lain berdifusi menjadi tidak jelas batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara
pengetahuan-pengetahuan itu mempunyai implikasi sosial terhadap kedudukan
seseorang yang memiliki kelebihan dalam pengetahuan untuk dipandang sebagai
pemimpin yang mengetahui segala-galanya.Fenomena tersebut sejalan dengan
singkat kebudayaan primitif yang belum mengenal berbagai organisasi kemasyarakatan,
sebagai implikasi belum adanya diverifikasi pekerjaan. Seorang pemimpin
dipersepsikan dapat merangkap fungsi apa saja, anatara lain sebagai seagi
kepala pemerintahan, akim, guru, panglima perang, penjabat, pernikaan dan
sebagainya. Ini berarti pula bahwa emimpin itu mampu menyelesaikan segala
masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya.
Epistemologi juga
disebut sebagai cabang filsafat yang berelevansi dengan sifat dasar dan ruang
lingkup pengetahuan, pra-anggapan-pra-anggapan, dan dasar-dasarnya, serta
rehabilitas umum dari tuntutan akan pengetahuan. Epistemologi secara sederhana
dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mengkaji awal mula, struktur,
metode, dan validity pengetahuan. Berdasarkan berbagai definisi itu dapat
diartikan, bahwa epistemologi yang berkaitan dengan masalah-masalah yang
meliputi:
1.
Filsafat,
sebagai filsafat yang berusaha mencari hakikat dan kebenaran pengetahuan.
2.
Metode,
sebagai metode bertujuan mengatur manusia untuk memperoleh pengetahuan.
3.
Sistem,
sebagai suatu sistem bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan itu
sendiri.
Metode dan Memperoleh Pengetahuan
melalui :
a)
Empirisme
Empirisme adalah suatu
cara atau metode dalam filsafat yang berdasarkan cara memperoleh pengetahuan
dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan
bahwa pada waktu manusa dilahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong
(tabula rasa), dan di dalam buku catatan tulah dicatat pengalaman-pengalaman
inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan
menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta
refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut. Ia memandang akal sebagai
sejenis tempat penampungan yang secara pasif menerima asil-hasil enginderaan
tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita, betapapunrumitnya dapat dilacek
kembali sampai kepada pengalaman-engalaman inderawi yang pertama-pertama dapat
diibaratlam sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang
tidak dapat atau tidak erlu dilacak kembali secara demikian itu bukanlah
pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang
faktual.
b)
Rasionalisme
Rasionalisme
berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena
rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling
dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Ara penganut rasionalisme
yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak didalam ide kita, dan bukannya
didalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna dan mempunyai ide
yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat
ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
c)
Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme
adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Barang sesuatu
sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat inderawi kita dan
diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalam dan disusun secara
sistematis dengan jalan penalaran. Karena iu kita tidak pernah mempunyai
pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaannya sendiri, melainkan hanya
tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang
gejala (Phenomenon).Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat
bahwa semua pengetahuan didasarkan pada pengalaman meskipun benar hanya untuk
sebagian.tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan
bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.
d)
Intusionisme
Menurut Bergson,
intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika.
Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan
dapat menggantikan hal pengenalan secara langsung dari pengetahuan
intuitif.Salah satu diantara unsur-unsur yang berharga dalam instuisionisme
Bergson adalah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman disamping
pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya
dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang
dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa
pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman arus
meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalam intuitif.
Hendaknya diingat,
intusionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi yang biasa dan
pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme setidak-tidaknya dalam
beberapa bentuk hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap diperoleh
melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi yang meliputi
sebagian saja yang diberikan oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang
diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa
yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu
tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya
intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaan yang senyatanya.
2.2 Ilmu Pengetahuan Dan Metodologi Riset
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki
manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoretis dan
filsafat praktis. Filsafat teoretis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam,
seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan, dan astronomi; (2) ilmu eksakta
dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan metafisika. Filsafat praktis
mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan
politik. Plato (427–348 SM) menyatakan filsafat ialah pengetahuan yang bersifat
untuk mencapai kebenaran yang asli. Sedangkan Aristoteles (382–322 SM)
mendefenisikan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang
terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi,
politik, dan estetika. Sedangkan filosof lainnya Cicero (106–043 SM) menyatakan
filsafat ialah ibu dari semua ilmu pengetahuan lainnya. Filsafat ialah ilmu
pengetahuan terluhur dan keinginan untuk mendapatkannya.
Salah satu tiang penopang dalam bangunan ilmu pengetahuan adalah
epistimologi. Epistimologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi
pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan. Epistimologi
membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk
memperoleh pengetahuan. Epistimologi merupakan teori pengetahuan yang diperoleh
melalui proses metode keilmuan dan sah disebut sebagai keilmuan. Dengan
epistimologi maka hakikat keilmuan akan ditentukan oleh cara berfikir yang
dilakukan dengan sifat terbuka, dan menjunjung tinggi kebenaran di atas
segala-galanya. Oleh sebab itu aliran yang berkembang dalam menopang konsep
epistimologi menunjukkan koridor di atas seperti rasionalisme, empirisme, kritisme,
positivisme, fenomenologi.
Tiga landasan ilmu pengetahuan atau yang sering disebut dengan tiga tiang
peyangga ilmu pengetahuan dalam kajian filsafat ilmu terdiri atas : ontologi,
epistimologi dan aksiologi. Liek Wilardjo menambahkan satu landasan lagi yang
disebut dengan teleologis yang biasanya digabungkan dengan aksiologis. Ketiga
unsur ini merupakan tolok ukur dalam membangun The Body of Knowledge. Bangunan
keilmuan yang ditopang tiga tiang peyangga ini menjadi prasyarat mutlak jika
mengupas hubungan sinergi antara filsafat ilmu dengan metodologi penelitian.
Secara aplikasi, pola penggunaan tiga tiang peyangga ini dalam riset utamanya
dalam rancangan penelitian akan terwujud sebagai berikut : pada tataran
ontologis akan tercermin pada latar belakang penelitian, rumusan dan batasan
masalah, termasuk didalamnya penelitian terdahulu maupun kajian pustaka, adapun
tataran epistimologi terwujudkan dalam metode penelitian dan pada ataran
aksiologi maupun teleologis berwujud ke tujuan dan manfaat penelitian. Tiga
ranah ini sesungguhnya menjadi kata kunci landasan filosofis dalam riset.
Ilmu pengetahuan akan berkembang dengan pesat salah satunya didukung oleh
kemampuan dari peneliti dalam melakukan evaluasi seluruh kerja penelitian yang
selama ini dilakukan. Oleh karena kerja penelitian dengan menggunakan standar
metodologi yang tepat maka pola pengembangan di lapangan yang dinamis
membutuhkan formula-fourmula baru yang mendukung ke arah pembaharuan metodologi
penelitian itu sendiri. Formula-formula baru tersebut didapatkan dari
serangkaian hasil evaluasi secara menyeluruh agar penelitian-penelitian yang
dilakukan di masa yang akan datang dapat memberikan nilai tambah terhadap
kualitas penelitian tersebut. Pengaruh positif yang didapatkan dari hal
tersebut adalah kontribusi pada bagunan keilmuan semakin berkualitas sehingga
nilai kemajuan dari ilmu pengetahuan dari abad ke abad semakin berkembang.
Upaya ke arah tersebut tentu saja ditopang oleh pengetahuan metodologi
penelitian yang mumpuni dari periset sehingga hasil evaluasinya tidak diragukan
dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Epistemologi dibagi 3 bagian, yaitu logika,metodologi dan filsafat ilmu.
Logika secara khusus membahas tentang sistematika berfikir, bernalar dan
berargumen. Metodologi secara khusus membahas tentang cara mendapatkan
pengetahuan dan kebenaran, mengembangkan ilmu pengetahuan dan sebagai alat
untuk meneliti sebuah pemasalahan. Adapun metode metode berpikir yang
dihasilkan dari epistemologi, yaitu sebagai berikut :
1.
Rasionalisme
Rasionalisme merupakan sebuah metode berpikir yang berpandangan bahwa
segala sesuatu yang berkaitan dengan bernalar yang harus didasari dengan rasio
atau pengukuran, pola dan logika, dengan begitu kita baru dapat mendapatkan
sebuah kebenaran. Rasio secara sederhana dapat diartikan sebagai rumus dan
pola, namun dalam konteks yang lebih luas. Aspek rasio meliputi pola, rumus,
imajinasi, ide, logika dan insting.
Rasionalisme contohnya seperti manusia sedang berburu harimau. Manusia
dengan metode berpikir rasionalisme akan berpikir, merencanakan, menyusun
strategi, mengukur terlebih dahulu sebelum menembak harimau tersebut. Dengan
begitu, manusia tersebut dapat berburu sekaligus mempelajari cara berburu yang
itu disebut pengetahuan kualitatif.
2.
Empirisme
Empirisme merupakan sebuah metode berpikir yang berpandangan bahwa segala
sesuatu untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran hanya didapat dengan
pengujian dan pengalaman secara langsung. Empirisme lebih menekankan pada panca
indra manusia dibandingkan dengan akal manusia karena dengan panca indra akan
lebih mudah untuk mengingat apa yang terjadi pada pada panca indra tersebut
ketika berinteraksi sesuatu hal di dunia ini.
Empirisme contohnya seperti manusia sedang berburu harimau. Dengan metode
empirisme akan langsung melakukan pengujian dan pengamatan untuk bisa menembak
harimau tersebut. Dengan seringnya menembak harimau tersebut, maka akan
bertambah pula pengalaman dan pengetahuan tentang berburu harimau yang menjadi
landasan dasar metode empirisme.
Sejarah filsafat Barat mencatat ada dua aliran pokok dalam epistemologi.
Pertama, idealism atau rasionalism (Plato), yaitu suatu aliran pemikiran yang
menekankan pentingnya peran akal, idea, category, form, sebagai sumber ilmu
pengetahuan, dan mengesampingkan peran indera. Kedua, adalah realism atau
empiricism (Aristoteles), yaitu aliran pemikiran yang lebih menekankan peran
indera sebagai sumber sekaligus alat memperoleh pengetahuan, serta
menomorduakan akal. Kedua aliran tersebut lahir pada zaman Yunani antara tahun
423 sampai dengan tahun 322 sebelum Masehi.
Selain kedua aliran tersebut masih ada beberapa aliran lain diantaranya,
kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi dan lain
sebagainya. Kesemuanya lahir setelah masa renaissans di Barat. 18 Sedangkan
menurut Prof. Syed Naquib Al-Atas, mengatakan sumber dan kriteria kebenaran
dalam pandangan Islam terbagi atas dua bagian besar, yakni yang bersifat
relative dan yang bersifat absolut. Yang termasuk sumber pengetahuan relatif
adalah indra dan persepsi. Sumber yang absolut, tiada lain al-Quran dan Sunnah.
Sebagaiman telah dijelaskan sebelumnya bahwa ada beberapa pendapat tentang
sumber pengetahuan antara lain:
Emperisme yang
beranggapan bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman (empereikos
/ pengalaman). Dalam hal ini harus ada tiga hal, yaitu yang mengetahui
(subjek), yang diketahui (objek) dan cara mengetahui (pengalaman). Tokoh yang
terkenal: John Locke (1632 –1704), George Barkeley (1685 - 1753) dan David
Hume. Dalam Al-Qur'an, banyak ayat yang menganjurkan untuk melakukan perjalanan
dan menjadikan pengalaman sebagai pelajaran yang harus dimanfaatkan. Oleh
karena itu, dalam pandangan al-Qur'an, wujud yang yang diinformasikan oleh
panca indra -selama dalam wilayah kerjanya- dapat diandalkan dan bahwa apa yang
dijangkaunya adalah satu kenyataan dan pengetahuan. Bahkan al-Qur'an secara
tegas menyatakan bahwa: “Allah mengeluarkan kamu dari perut ibu-ibu kamu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, aneka
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
Rasionalisme, aliran
ini menyatakan bahwa akal (reason) merupakan dasar kepastian dan kebenaran
pengetahuan, walaupun belum didukung oleh fakta empiris. Tokohnya adalah Rene
Descartes (1596–1650, Baruch Spinoza (1632 – 1677) dan Gottried Leibniz (1646
–1716). Al-Qur'an memerintahkan manusia untuk menggunakan nalarnya dalam
menimbang ide yang masuk ke dalam benaknya. Banyak ayat yang berbicara tentang
hat ini dan dengan berbagai redaksi seperti ta'qiluun, tatafakkaruun,
tadabbaruun dan lain-lain. lni membuktikan bahwa akal pun mampu meraih
pengetahuan dan kebenaran selama ia digunakan dalam wilayah kerjanya.
Intuisi. Dengan
intuisi, manusia memperoleh pengetahuan secara tiba-tiba tanpa melalui proses
penalaran tertentu. Ciri khas intuisi antara lain; zauqii (rasa) yaitu melalui
pengalaman langsung, ilmu huduuri yaitu kehadiran objek dalam diri subjek, dan
eksistensial yaitu tanpa melalui kategorisasi akan tetapi mengenalnya secara
intim. Henry Bergson menganggap intuisi merupakan hasil dari evolusi pemikiran
yang tertinggi, tetapi bersifat personal. Dalam surah pertama yang diturunkan
kepada Rasulullah saw., dijelaskan bahwa ada dua cara mendapatkan pengetahuan.
pertama melalui "pena" (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan
yang kedua melalui pengajaran secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini
dikenal dengan istilah 'llm Ladunny seperti ilmu yang diperoleh oleh Nabi
Haidir: فوجدا
عبدا من عبادان آتيناه رمحة من عندان وعلمناه من لدان علما
Artinya: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba kami,
yang Telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang Telah kami
ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”. Pengetahuan intuisi ada yang berdasar
pengalaman indrawi seperti aroma atau warna sesuatu, ada yang langsung diraih
melalui nalar dan bersifat aksioma seperti A adalah A, ada juga ide cemerlang
secara tiba-tiba seperti halnya Newton ( 1642- 1727 M) menemukan gaya gravitasi
setelah melihat sebuah apel yang terjatuh tidak jauh dari tempat ia duduk dan
ada juga berupa mimpi seperti mimpi Nabi Yusuf as. dan Nabi Ibrahim as.
Wahyu adalah
pengetahuan yang bersumber dari Tuhan melalui hamba-Nya yang terpilih untuk
menyampaikannya (Nabi dan Rasul). Melalui wahyu atau agama. Manusia diajarkan
tentang sejumlah pengetahuan baik yang terjangkau ataupun tidak terjangkau oleh
manusia. Disamping itu, masih ada sumber pengetahuan seperti kritisisme atau
rasionalisme kritis adalah pandangan yang mendasari kebenaran pada dua aspek
yaitu rasio dan pengalaman. Sedangkan positivisme adalah cara pandang dalam
memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini
bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena
masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian
juga alam.
Metode Pengumpulan Data Primer, Data primer dikumpulkan dari pengalaman
tangan pertama dan tidak digunakan di masa lalu. Pengumpulan data dengan metode
pengumpulan data primer bersifat spesifik untuk motif penelitian dan sangat
akurat. Metode pengumpulan data primer dapat dibagi menjadi dua kategori:
metode kuantitatif dan metode kualitatif.
Metode
kuantitatif, Teknik kuantitatif untuk riset pasar dan peramalan
permintaan biasanya menggunakan alat statistik. Dalam teknik ini, permintaan
diperkirakan berdasarkan data historis. Metode pengumpulan data primer ini
umumnya digunakan untuk membuat prakiraan jangka panjang. Metode statistik
sangat andal karena unsur subjektivitas minimal dalam metode ini.
Analisis
Deret Waktu, Istilah deret waktu mengacu pada urutan nilai
variabel yang berurutan, yang dikenal sebagai tren, pada interval waktu yang
sama. Dengan menggunakan pola, organisasi dapat memprediksi permintaan produk
dan layanannya untuk waktu yang diproyeksikan.
Teknik
menghaluskan, Dalam kasus di mana deret waktu tidak memiliki
tren yang signifikan, teknik pemulusan dapat digunakan. Mereka menghilangkan
variasi acak dari permintaan historis. Ini membantu dalam mengidentifikasi pola
dan tingkat permintaan untuk memperkirakan permintaan di masa depan. Metode
yang paling umum digunakan dalam teknik peramalan permintaan pemulusan adalah
metode rata-rata bergerak sederhana dan metode rata-rata bergerak tertimbang.
Metode
Barometrik, Juga dikenal sebagai pendekatan indikator utama,
peneliti menggunakan metode ini untuk berspekulasi tren masa depan berdasarkan
perkembangan saat ini. Ketika peristiwa masa lalu dianggap memprediksi
peristiwa masa depan, mereka bertindak sebagai indikator utama.
Metode
Kualitatif, Metode kualitatif sangat berguna dalam situasi
ketika data historis tidak tersedia. Atau tidak perlu angka atau perhitungan
matematis. Penelitian kualitatif berkaitan erat dengan kata-kata, suara,
perasaan, emosi, warna, dan unsur-unsur lain yang tidak dapat diukur.
Teknik-teknik ini didasarkan pada pengalaman, penilaian, intuisi, dugaan,
emosi, dll. Metode kuantitatif tidak
memberikan motif di balik tanggapan peserta, seringkali tidak menjangkau
populasi yang kurang terwakili, dan membutuhkan waktu yang lama untuk
mengumpulkan data. Oleh karena itu, yang terbaik adalah menggabungkan metode
kuantitatif dengan metode kualitatif.
Survei, Survei
digunakan untuk mengumpulkan data dari audiens target dan mengumpulkan wawasan
tentang preferensi, pendapat, pilihan, dan umpan balik mereka terkait dengan
produk dan layanan mereka. Sebagian besar perangkat lunak survei sering kali
memiliki berbagai jenis pertanyaan untuk dipilih. Digunakan templat survei yang
sudah jadi untuk menghemat waktu dan tenaga. Survei online dapat disesuaikan
sesuai merek bisnis dengan mengubah tema, logo, dll. Survei dapat
didistribusikan melalui beberapa saluran distribusi seperti email, situs web,
aplikasi offline, kode QR, media sosial, dll. Tergantung pada jenis dan
sumbernya audiens Anda, Anda dapat memilih saluran. Setelah data dikumpulkan,
perangkat lunak survei dapat menghasilkan berbagai laporan dan menjalankan
algoritme analitik untuk menemukan wawasan tersembunyi. Dasbor survei dapat
memberi Anda statistik yang terkait dengan tingkat respons, tingkat
penyelesaian, filter berdasarkan demografi, opsi ekspor dan berbagi, dll. Anda
dapat memaksimalkan upaya yang dihabiskan untuk pengumpulan data online dengan
mengintegrasikan pembuat survei dengan aplikasi pihak ketiga.
Jajak
pendapat terdiri dari satu pertanyaan pilihan tunggal atau ganda. Ketika
diperlukan untuk memiliki denyut nadi cepat
dari sentimen audiens, Anda dapat melakukan polling. Karena pendek,
lebih mudah mendapatkan tanggapan dari orang-orang.
Mirip dengan survei, polling online juga
dapat disematkan ke berbagai platform. Setelah responden menjawab pertanyaan,
mereka juga dapat ditunjukkan bagaimana mereka berdiri dibandingkan dengan
tanggapan orang lain.
Wawancara. Dalam
metode ini, pewawancara mengajukan pertanyaan baik secara tatap muka maupun
melalui telepon kepada responden. Dalam wawancara tatap muka, pewawancara
mengajukan serangkaian pertanyaan kepada orang yang diwawancarai secara
langsung dan mencatat tanggapannya. Jika tidak memungkinkan untuk bertemu
dengan orang tersebut, pewawancara dapat melakukan wawancara melalui telepon.
Bentuk pengumpulan data ini cocok bila respondennya hanya sedikit. Terlalu
memakan waktu dan membosankan untuk mengulangi proses yang sama jika ada banyak
peserta.
FGD. Dalam
kelompok fokus, sekelompok kecil orang, sekitar 8-10 anggota, mendiskusikan
area masalah yang umum. Setiap individu memberikan wawasannya tentang masalah
yang bersangkutan. Seorang moderator mengatur diskusi di antara anggota
kelompok. Di akhir diskusi, kelompok mencapai konsensus.
Kuesioner adalah
serangkaian pertanyaan yang dicetak, baik terbuka maupun tertutup. Responden
diminta untuk menjawab berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya terhadap
masalah yang bersangkutan. Kuesioner adalah bagian dari survei, sedangkan
tujuan akhir kuesioner mungkin atau mungkin bukan survei.
Metode Pengumpulan, Data sekunder adalah data yang sudah pernah digunakan
sebelumnya. Peneliti dapat memperoleh data dari sumber, baik internal maupun
eksternal, untuk organisasi.
Sumber internal data sekunder :
• Catatan kesehatan dan
keselamatan organisasi
• Pernyataan misi dan visi
• Laporan keuangan
• Majalah
• Laporan penjualan
• Perangkat Lunak CRM
• Ringkasan eksekutif
Sumber eksternal data sekunder :
• laporan pemerintah
• Siaran pers
• Jurnal bisnis
• Perpustakaan
• Internet
Metode pengumpulan data sekunder juga dapat melibatkan teknik kuantitatif
dan kualitatif. Data sekunder mudah tersedia dan karenanya, lebih sedikit
memakan waktu dan mahal dibandingkan dengan data primer. Namun, dengan metode
pengumpulan data sekunder, keaslian data yang dikumpulkan tidak dapat
diverifikasi.
Filsafat komunikasi
adalah suatu bidang studi yang menelaah pendekatan filsafat terhadap ilmu
komunikasi. Studi filsafat komunikasi bisa kamu mulai dengan memelajari konsep
pokok dalam disiplin filsafat, seperti epistemologi, aestetika, logika, etika,
metafisika. Setelah itu, kamu bisa membahas bagaimana konsep tersebut dapat
menjelaskan masalah/isu yang dihadapi praktisi komunikasi dalam profesi dan
kehidupan masyarakat. Masalah yang dibahas khususnya adalah masalah yang
bersangkutan dengan dilema-dilema etik. Terdapat beberapa pendapat mengenai
pendekatan filsafat dalam ilmu komunikasi. James A. Anderson (1996) menyatakan
bahwa pendekatan filsafat menekankan pada teori komunikasi yang dapat
mendefinisikan teori, mendiskusikan bidang studi teori komunikasi, dan mencari
tahu hal yang membuat suatu teori termasuk teori komunikasi.
Epistemologi merupakan
cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan
manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature, methods
and limits of human knowledge). Epistemologi berkaitan dengan penguasaan
pengetahuan dan lebih fundamental lagi bersangkutan dengan kriteria bagi
penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan, tepat apabila dihubungkan dengan
metodologi. Metode adalah tata cara dari suatu kegiatan berdasarkan perencanaan
yang matang dan mapan, sistematik dan logis. Pada dasarnya metode ilmiah
dilandasi: (1) Kerangka pemikiran yang logis, (2) Penjabaran hipotesis yang
merupakan deduksi dan kerangka pemikiran, (3) Verifikasi terhadap hipotesis
untuk menguji kebenarannya secara faktual.
Ilmu pengetahuan dan
metodologi riset. Riset Menurut Para Ahli adalah suatu proses kegiatan
penyelidikan (investigasi) atau eksplorasi terhadap suatu masalah yang
dilakukan menurut kaidah dan metodologi tertentu secara ilmiah dan sistematis.
Tujuan dilakukan riset adalah untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, menemukan
fakta yang baru, atau melakukan penafsiran yang lebih baik. Kata riset ini
diserap dari kata bahasa Inggris research yang diturunkan dari bahasa Perancis
yang memiliki arti harfiah “menyelidiki secara tuntas”. Istilah ini juga
digunakan untuk menjelaskan suatu koleksi informasi menyeluruh mengenai suatu
subjek tertentu, dan biasanya dihubungkan dengan hasil dari suatu ilmu atau
metode ilmiah. Definisi Riset Menurut Para Ahli. Beberapa referensi mengenai
definisi Riset Menurut Para Ahli antara lain:
a)
Kerlinger
(1986)
Scientific research
is a systematic, controlled empirical and critical investigation of
propositions about the presumed relationship about various phenomena. Riset ilmiah adalah sistematik,
terkontrol secara empiris dan investigasi kritis terhadap dalil mengenai dugaan
hubungan antar berbagai fenomena. Kerlinger memberikan penekanan lebih,
dalam definisi nya diatas, yaitu harus ada faktor investigasi kritis. Ini
artinya seorang peneliti tidak harus yakin 100% terhadap investigasi yang telah
dilakukan untuk menjawab permasalahan, namun juga harus memberikan sedikit
kritik atau keraguan terhadap hasil investigasi nya, dengan harapan nantinya
peneliti akan mencari sumber-sumber lain sebagai bahan komparasi yang mendukung
hasil investigasi nya atau dengan kata lain harus menggunakan sumber eksternal
agar penelitiannya semakin valid dan mampu menjawab permasalahan secara
menyeluruh (holistic).
b)
Burns
(1994)
Research is a
systematic investigation to find answers to a problem. Riset adalah investigasi sistematik
untuk menemukan jawaban dari sebuah permasalahan. Burn mendefinisikan riset
secara lebih sederhana, namun sangat mudah dipahami. Intinya adalah bagaimana
menjawab sebuah pertanyaan atau permasalahan yang ada dengan langkah-langkah
yang sistematik.
c)
Hopkins
WG (2002)
Research is all
about addressing an issue or asking and answering a question or solving
problem. Riset
adalah mengirimkan sebuah isu atau pertanyaan serta menjawab sebuah pertanyaan
atau memecahkan masalah. Hopkins didalam definisi diatas memberikan key word
mengenai apa yang dimaksud dengan Riset atau penelitian. Ada dua kunci penting
dalam sebuah riset yaitu memunculkan sebuah pertanyaan (addressing issue) dan
bagaimana menjawab dan memecahkan masalah tersebut (solving problem). Dikenal
empat teori kebenaran, sebagai berikut:
·
Teori
koherensi; suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu koheren atau
konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
·
Teori
korespondensi; suatu pernyataan adalah benar jikalau materi yang terkena oleh
persyaratan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh
pernyataan itu.
· Teori pragmatik; suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia.
2.5 Paradigma Pendekatan Komunikasi
Penelitian Komunikasi
dapat dilakukan dengan menggunakan 2 (dua) pendekatan tunggal yang berbeda
karakteristiknya, yaitu pendekatan kuantitatrif (objectivist) dan pendekatan
kualitatif (subjectivist). Secara umum dapat dipahami bahwa penelitian
komunikasi dengan objectivist berhubungan dengan pengujian hipotesis dan data
yang dikuantifikasikan melalui penggunaan Teknik-teknik pengukuran yang
objektif dan analisis statistik, Sedangkan penelitian komunikasi dengan
pendekatan subjectivist memiliki keterkaitan dengan analisis data visual dan
data verbal yang merupakan cerminan dari pengalaman sehari-hari.
TABEL
2.1
Karakteristik Pendekatan Kuantitatif Dan Kualitatif
Sumber: John W. Cresswell, Research Design, Qualitative & Quantitative Approaches, 1994
2.6 Sejarah Perkembangan Ilmu
Komunikasi
Ilmu komunikasi
dikategorikan ke dalam ilmu sosial dan ilmu terapan oleh para ahli komunikasi
dan bersifat lintas disiplin ilmu. Hal ini dikarenakan obyek material ilmu
komunikasi memiliki kesamaan dengan ilmu lainnya yaitu manusia. Sebagai sebuah
ilmu, komunikasi telah menorehkan jejak sejarah yang sangat panjang. Dalam
artikel sebelumnya yang bertajuk Pengantar Ilmu Komunikasi telah disinggung
secara sekilas tentang sejarah ilmu komunikasi.
Sebagai sebuah ilmu, komunikasi sejatinya telah dikaji oleh para
peneliti ataupun ahli dari berbagai disiplin ilmu namun dengan penamaan yang
berbeda yaitu Publisistik, Jurnalistik, atau Komunikasi Massa.
Dapat dikatakan bahwa
pada awalnya ilmu komunikasi hanya berkutat pada konteks komunikasi massa.
Namun, melalui serangkaian penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh para
ahli, ilmu komunikasi kemudian berkembang tidak hanya mengkaji gejala sosial
yang terjadi akibat proses komunikasi massa namun juga komunikasi interpersonal
atau komunikasi antar pribadi dan komunikasi kelompok.
Seiring dengan
perkembangan teknologi komunikasi, maka ilmu komunikasi pun mengalami
perkembangan lebih lanjut. Kehadiran internet sebagai media komunikasi serta
berbagai media komunikasi modern tidak dipungkiri turut memberikan kontribusi
pada perkembangan ilmu komunikasi. Perjalanan sejarah perkembangan ilmu
komunikasi pun memasuki fase berikutnya sejalan dengan sejarah perkembangan
teknologi komunikasi dan sejarah perkembangan alat komunikasi (Baca juga : Jenis-jenis
Komunikasi Daring Berdasarkan Metode Penyampaiannya).
Pengertian Komunikasi,
Di Amerika Serikat, ilmu komunikasi dikenal dengan sebutan Communication
Science atau Communicology. Ilmu komunikasi sendiri kemudian menjadi pusat
perhatian di Amerika Serikat pada tahun 1940an ketika Carl I. Hovland
merumuskan pengertian ilmu komunikasi. Berikut adalah beberapa pengertian ilmu
komunikasi atau komunikologi yang dikemukakan oleh para ahli.
Carl I. Hovland
mendefinisikan ilmu komunikasi sebagai sebuah usaha sistemik untuk merumuskan
dengan ketat prinsip-prinsip yang dengannya informasi ditransmisikan serta
opini dan sikap terbentuk. Lebih lanjut, Hovland menyatakan bahwa proses
komunikasi adalah proses dimana seorang individu yaitu komunikator
mentransmisikan stimuli yang biasanya berupa simbol-simbol verbal untuk
mempengaruhi perilaku individu lainnya atau komunikate (Efendi, 1984 : 5).
Keith Brooks (1967)
menjelaskan komunikologi dalam bukunya The Communicative Arts and Science of
Speech dengan menyatakan bahwa Komunikologi atau Ilmu Komunikasi merupakan
integrasi prinsip-prinsip komunikasi yang dikemukakan oleh para ahli sebagai
sebuah disiplin akademis. Komunikasi juga memiliki sebagai filsafat komunikasi
yang realistis, suatu program penelitian sistematis yang mengkaji berbagai
teori komunikasi, menjembatani kesenjangan yang ada dalam pengetahuan,
memberikan penafsiran, dan saling mengabsahkan berbagai penemuan yang
dihasilkan oleh berbagai disiplin khusus dan program penelitian lainnya.
Menurutnya, Komunikologi merupakan program yang sangat luas, yang
mencakup-tanpa membatasi dirinya sendiri-kepentingan-kepentingan atau
teknik-teknik setiap disiplin akademik (Efendi, 1984: 5-6).
Joseph A. Devito
menegaskan dalam bukunya Communicology: An Introduction to the Study of
Communication bahwa komunikologi adalah ilmu komunikasi utamanya komunikasi
yang dilakukan oleh dan di antara manusia. Lebih lanjut Devito menyatakan bahwa
seorang komunikolog adalah seorang pakar ilmu komunikasi. Istilah komunikasi
digunakan untuk menunjukkan tiga bidang studi yang berbeda yaitu proses
komunikasi, pesan yang dikomunikasikan, serta studi mengenal proses
komunikasi(Efendi, 1984 : 6-7).
International
Communicology Institute mendefinisikan komunikologi dengan merujuk pada
pendekatan kualitatif ilmu pengetahuan manusia terhadap penelitian komunikasi
manusia. Komunikologi telah digunakan untuk menggambarkan sebuah disiplin
dibawah luasnya bidang komunikasi dengan menggunakan metode semiotika dan
metode fenomenologis berbasis logika untuk mempelajari kesadaran perilaku
manusia. Pemahaman proses komunikasi manusia dikembangkan dengan menggunakan
metodologi kualitatif dalam disiplin komunikologi.
A.
Ilmu
Pernyataan Manusia di Yunani dan Romawi Kuno
Jejak sejarah
perkembangan ilmu komunikasi dimulai pada abad ke lima sebelum masehi yang
ditandai dengan berkembangnya istilah Rhetorike di masa Yunani Kuno sebagai
sebutan untuk ilmu yang mengkaji proses pernyataan antar manusia. Georgias
adalah tokoh pertama yang mempelajari dan menelaah proses pernyataan antar
manusia. Tokoh-tokoh lainnya yang juga mengkaji ilmu pernyataan manusia adalah
Protagoras, Socrates, Plato, Demosthenes, dan Aristoteles. Selain di Yunani,
ilmu pernyataan manusia juga berkembang di Romawi yang dikenal dengan
Rhetorika. Adapun tokoh yang mengembangkan retorika di Romawi adalah Cicero.
Ketika Romawi dipimpin
oleh kaisar yang bernama Gaius Julius Caesar, berkembang ilmu pernyataan
manusia melalui media. Pada masa kepemimpinannya, semua kegiatan yang dilakukan
oleh senat harus diumumkan setiap hari kepada masyarakat melalui Acta Diurna
atau semacam papan pengumuman. Ilmu pernyataan manusia kemudian mengalami
perkembangan seiring dengan perkembangan teknologi seperti ditemukannya kertas
pada tahun 105 M dan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg pada abad 15.
Kemudian, pada tahun
1609 surat kabar pertama yaitu Avisa Relation Oder Zitung terbit di Jerman.
Beberapa tahun kemudian, yaitu sekitar tahun 1622 di Inggris terbitlah surat
kabar Weekly News. Berdasarkan catatan sejarah, pada masa ini telah lahir dan
berkembang berbagai macam surat kabar yang memiliki berbagai pengaruh terhadap
khalayaknya. Hal inilah yang membuat para ahli tertarik untuk melakukan
penelitian lebih lanjut terkait dengan persuratkabaran.
B. Pemikiran
Epistemologi para Filosof Yunani dan Barat
1) Filosof
Yunani
Sejak awal, para filosof pra-Sokratik
tidak memberikan perhatian pada cabang filsafat epistemologi, sebab mereka
memusatkan perhatian pada alam dan kemungkinan perubahannya, sehingga mereka
kerap dijuluki filosof alam. Mereka mengandaikan begitu saja, bahwa pengetahuan
mengenai itu mungkin, meski beberapa di antara mereka menyarankan bahwa
pengetahuan tentang struktur kenyataan dapat lebih dimunculkan dari
sumber-sumber tertentu, ketimbang sumber-sumber lain. Heraclitus (535-475 SM),
misalnya, menekankan penggunaan indera, sementara Parmanides (540-475 SM)
menekankan penggunaan akal. Meski demikian, tidak seorang pun meragukan adanya
pengetahuan tentang kenyataan (realitas) (Paul Edward, 1972:9).
Pengetahuan tentang “realitas” atau
kebenaran obyektif mendapat momentum-nya pada filsafat Socrates (469–399 SM).
Menurutnya, ada kebenaran obyektif yang tidak tergantung pada saya atau pada
kita. Untuk membuktikannya, Socrates menggunakan metode dialektika (berasal
dari kata kerja Yunani dialegesthai, yang berarti bercakap-cakap atau berdialog),
yang terdiri dari induksi dan definisi (M. A. Brouwer, 1986:25). Yang disebut
pertama adalah pemikiran yang bertolak dari pengetahuan yang khusus, kemudian
menyimpulkan pengetahuan yang umum, sedangkan yang disebut belakangan tiada
lain adalah pengertian umum. Di sini Socrates memunculkan pengetahuan yang
bersifat umum sebagai pengetahuan yang benar, dan pengetahuan yang khusus
sebagai pengetahuan yang kebenarannya relatif. Pada abad 5 SM, muncul keraguan
terhadap adanya kemungkinan itu. Mereka yang meragukan manusia mengetahui
realitas adalah kaum Shofis. Mereka mempertanyakan, seberapa jauh kita
benar-benar mengetahui kenyataan obyektif?
Apakah kita mempunyai pengetahuan
sebagaimana adanya? Sikap inilah yang disinyalir memunculkan filsafat epistemologi.
Protagoras berpendapat, bahwa keadaan gejala sesuatu persis sama sebagaimana
sesuatu itu tampak kepada manusia, dan kesan merupakan satu-satunya kenyataan.
Diktum Protagoras mengatakan, “Man is the
measure of thinks, of things that they are, of things that are not.”
(Manusia adalah ukuran segala sesuatu baik yang ada maupun tidak ada).
Sebaliknya, menurut Gorgias, tidak ada sesuatu yang disebut kenyataan. Jika
ada, kita tidak dapat mengetahuinya, kita tidak dapat mengkomunikasikan
pengetahuan kita itu. “Nothing exits, if
anything exits, it is unknown able and granting, it even to exits and to be
knoweble by any one, he could never communicate it do there” (Bertrand
Russel, 1945:94-95).
Perkembangan selanjutnya, epistemologi
mendapat bentuknya dalam sistem pemikiran Plato (427-347 SM). Filosof Yunani
ini, bahkan disebutsebut sebagai pencetus epistemologi atau the real originator
of epistemology, karena ia telah menguraikan masalah-masalah mendasar tentang
pengetahuan. Apa itu pengetahuan? Dimana pengetahuan diperoleh? Sejauhmanakah
yang kita anggap pengetahuan adalah benar-benar merupakan pengetahuan? Apakah
indera menghasilkan pengetahuan? Dapatkah budi memberi pengetahuan? Dan apakah
hubungan antara pengetahuan dengan keyakinan yang benar? (Paul Edward).
Dalam menguraikan pemikiran tentang
epistemologi, Plato mengawalinya dengan menegaskan bahwa realitas itu tidak
berubah. Menurutnya, pengetahuan sejati adalah apa yang disebut epistem, yakni
pengetahuan tunggal dan tidak berubah sesuai dengan idea-idea abadi. Apa yang
nampak di dunia ini hanyalah “bayangan” dari yang baka. Bayangan yang
bermacam-macam dan selalu berubah, sehingga kebenaran menurut Plato bersifat
apriori. Pandangan ini ingin menentukan apa kiranya yang mendahului adanya segala
kenyataan itu? Bagi Plato, benda indrawi bukanlah objek pengetahuan, tapi objek
opini. Juga pencerapan indrawi bukanlah pengetahuan, melainkan sekedar opini,
karena selalu dalam perubahan dan kemungkinan salah.
Kemudian datang Aristoteles (384 SM),
murid Plato, meneruskan pendapat gurunya, tetapi dengan mengubah segi-segi
mendasar. Aristoteles menetapkan abstraksi sebagai ganti dari ingatan dan
intuisi. Dalam proses abstraksi, pengertian semakin meluas sejauh isi yang
dapat disentuh dengan panca indera semakin menipis. Illustrasi itu dapat
dilihat dari urutan berikut : itik – burung – hewan – makhluk hidup. Di sini
pengertian tentang “makhluk hidup” semakin meluas karena semakin jauh dijangkau
panca indera. Sebaliknya, pengertian “itik” semakin menyempit karena semakin
dekat dari jangkauan panca indra. Dengan gambaran ini, Aristoteles berangkat
dari pengamatan dan penelitian aposteriori, karena segala ungkapan-ungkapan
ilmu terjadi sesudah pengamatan. Jadi, pengetahuan terjadi jika subyek diubah di
bawah pengaruh obyek. Artinya, bentuk-bentuk dari dunia luar meninggalkan bekas
di dalam ruang bathin, seperti halnya stempel meninggalkan bekas pada kertas
(Ibid).
Metode empirisme yang dibangun
Aristoteles mendapat tanggapan dari para filosof yang datang kemudian, seperti
filosof reneisance Francois Bacon (1561-1626 M) (M.J.Langiveld). Filsafat Bacon
mempunyai peranan penting dalam metode induksi dan sistimatisasi prosedur
ilmiah. Menurut Russel, dasar filsafat Bacon bersifat praktis, yakni untuk
memberi kekuasaan pada manusia atas alam melalui penyelidikan ilmiah. Bacon,
meng-kritik filsafat Yunani yang lebih menekankan pada perenungan-perenungan,
dan akibatnya filsafat Yunani tidak mempunyai nilai praktis bagi kehidupan
manusia (Will Durant).
2) Pemikiran
Epistemologi Barat Modern
Ada empat macam mazhab pemikiran epistemologi
barat modern, yakni:
a. Mazhab
empirisme.
Menurut Bacon, pengetahuan tidak akan
mengalami perkembangan berarti selama ia tidak mempunyai kekuatan yang dapat membantu
manusia merubah kepada kehidupan yang lebih baik. Francois Bacon (K. Bertens),
menulis, “Knowledge is power, it is not
opinion to be held, but a work to be done, and I am laboring to lay the
foundation not of any sector of doctrine, but of utility and power.”
(Pengetahuan adalah kekuatan. Ia bukanlah suatu pendapat melainkan suatu
pekerjaan untuk dilakukan. Dan saya bekerja bukan untuk meletakkan fondasi
ajaran apapun, melainkan meletakkan fondasi kegunanaan dan kekuatan
pengetahuan).
Dengan pendapat ini, Francois Bacon
menunjukkan dirinya sebagai penganut empirisme-positivisme yang menolak logika
sehingga tidak dapat digunakan untuk melahirkan pengetahuan.
b.
Mazhab rasionalisme.
Salah satu tokoh yang mempopulerkan
mazhab ini adalah Rene Descartes (1596-1650 M). Menurutnya, persoalan dasar
filsafat pengetahuan, bukanlah bagaimana kita dapat tahu, tetapi mengapa kita
dapat membuat kekeliruan (Ahmad Tafsir). Filosof yang populer dengan cogito
ergo sum (aku berpikir maka aku ada) ini mengatakan bahwa salah satu cara untuk
menentukan sesuatu yang pasti dan tidak pasti adalah dapat diragukan. Sehingga
untuk mencapai kepastian, harus menempuh keraguan metodis universal. Keraguan
ini bersifat universal, karena direntang tanpa batas. Artinya, usaha meragukan
itu akan berhenti bila ada sesuatu yang tidak dapat diragukan lagi. Usaha
meragukan itu disebut metodik, karena keraguan yang diterapkan di sini,
merupakan cara yang digunakan oleh penalaran reflektif philosofis untuk
mencapai kebenaran. Bagi Descartes, kekeliruan tidak terletak pada kegagalan
melihat sesuatu, malainkan di dalam mengira tahu apa yang tidak diketahuinya,
atau mengira tidak tahu apa yang diketahuinya.
Di dalam Discours on Method, Descartes memberikan pandangan baru tentang
epistemologi dengan menyebut metode-metode idealnya (Paul Edward), sebagai
berikut:
1)
Tidak
menerima sesuatu sebagai benar jika tidak memiliki idea yang jelas
2)
Menganalisis
masalah
3)
Memulai
dari pemikiran sederhana kemudian ke masalah lebih besar
4)
Membuat
perhitungan-perhitungan yang sempurna dan menyeluruh, sehingga tidak satupun
terabaikan.
Pemikiran epistemologi Descartes yang
didasarkan kepada kebenaran apriori-rasio ini mendapat sanggahan dari mazhab
empirisme John Locke (1632-1704). Bagi Locke, seluruh pengetahuan bersumber
dari pengalaman, bukan dari ide-ide bawaan apriori. John Locke yang terkenal
sebagai pencetus teori tabula rasa (blank teble) mengatakan bahwa jiwa manusia
pada dasarnya kosong dan pengalamanlah yang mengisi kekosongan tersebut.
Dengan landasan ini, Locke menolak akal,
menolak innate ide, menolak clear and distint Descartes, adeguate idea Spinoza,
dan truth of reason Leibniz. Oleh karenanya, dalam pandangan Locke, gagasan
berasal dari dua sumber, yakni sensasi dan persepsi jiwa. Dan persepsi adalah
langkah dan tindakan pertama menuju pengetahuan. Di sini tampak Locke lebih
mementingkan pengetahuan indrawi, ketimbang lainnya.
c.
Mazhab kantinian.
Perkembangan berikutnya, muncul gagasan
yang mensistesiskan antara rasional-isme dan empirisme oleh Imanuel Kant
(1724-1804). Filsafat Kant, bermaksud membedakan antara pengetahuan yang murni
dan tidak murni. Ia membersihkan pengetahuan dari keterikatannya kepada segala
penampakkan yang bersifat sementara. Filsafat Kant dimaksudkan sebagai
penyadaran atas kemampuan rasio secara obyektif dan menentukan batasbatas
kemampuannya untuk memberikan tempat kepada kepercayaan. Inilah persolan yang
mengarah pada problem phenomena dan noumena. Setelah Kant, muncul pemikiran
epistemologi positivistik Auguste Comte (1798-1857). Filosof yang nama
lengkapnya Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte dikenal sebagai the
father of positivisme, dengan Law of
three stages sebagai tesis utamanya. Pencapaian terbesar Comte adalah
keberhasilannya menggabungkan deduksi rasional dan induksi empirik sebagai
satu-satunya paradigma yang dapat dipegang untuk menghasilkan pengetahuan yang
benar. Karenanya, Comte mengajukan
capaian-capaian ilmiah sebagai “religion humanity”
(Aiken, 1957: 115). Filsafat Comte berpangkal dari apa yang diketahui, yang
faktual, dan yang positif. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang
tampak, dan karenanya Comte membatasi filsafat dan pengetahuan kepada
bidang-bidang gejala saja. Implikasi pemikiran ini dengan sendirinya menolak
dan memberangus metafisika.
d.
Mazhab postivisme.
Mazhab ini lahir dari komunitas yang
didirikan oleh Moritz Schlick pada tahun 1924. Ia melahirkan pandangan baru
yang disebut neopositivisme atau positivisme logis. Kemudian pada abad 20
Masehi, dominasi epistemologi positivistik mengalami perkembangan baru dan
mencapai kematangannya melalui kemunculan Vienna Circle (lingkaran Wina), suatu
komunitas intelektual yang terdiri dari sarjana-sarjana ilmu pasti dan ilmu
alam di Wina, Austria (Bertens, 1990: 166). Mereka memberi batas pada kenyataan
yang bermakna (meaningful) dan tidak
bermakna (meaningless) berdasarkan
kemungkinan untuk diverifikasi. Di sini para sarjana Wina mengajukan dua
pertanyaan How do you know?, dan what do you mean? Yang pertama
dimaksudkan dengan ”how do you verify?”,
sedangkan yang disebut belakangan dimaksudkan dengan “berikanlah uraian atau
analisis logis dari pernyataan anda!” Dengan dua pertanyaan ini, mereka menolak
semua ungkapan tentang teologi atau hal-hal yang terkait dengan metafisika,
seperti adanya Tuhan, penciptaan, jiwa, dan lain-lain karena dianggap tidak
bermakna. Masalah-masalah filsafat juga dipandang semu, karena tidak didasarkan
kepada penggunaan bahasa yang bermakna, melainkan pada bahasa emosi dan
perasaan (emotional use of language).
Maka, filsafat hanya memiliki tugas tunggal, yakni memeriksa susunan logis
bahasa ilmiah, baik dalam perumusan penyelidikan ilmu alam, maupun dalam bidang
logika dan matematika. Di sini epistemologi dipandang sebagai logika ilmu (the logic of science) (C. Verhaak).
Gagasan para sarjana Wina tersebut
ditentang keras oleh Karl Raimund Popper (lahir di Wina 1902). Popper menentang
pembedaan antara ungkapan yang bermakna (meaningful)
dari yang tidak bermakna (meaningless)
berdasarkan kriteria dapat dan tidaknya dibenarkan secara empiris. Pembedaan
itu digantikan oleh Popper dengan pembedaan ungkapan “ilmiah” dan “tidak
ilmiah”. Pokok pembedaan terletak pada ada dan tidak adanya dasar empiris bagi
ungkapan-ungkapan bersangkutan. Maka, ungkapan yang tidak ilmiah, mungkin
sekali amat bermakna (meaningful). Di
sini kriteria ilmiah dan tidak ilmiah adalah falsifibilitas. Suatu ungkapan
dinyatakan ilmiah jika diklasifikasikan secara empiris. Dengan kriteria ini, pernyataan
metafisis memang tidak ilmiah, tetapi bukan berarti ia tidak bermakna. Sejarah
membuktikan bahwa spekulasi metafisis telah menjadi sumber ilmu empiris (Victor
Kraft).
Setelah Popper, epistemologi mengalami
perkembangan baru, terutama dengan munculnya Thomas Kuhn yang menulis The Structure of Scientific Revolutions
tahun (1962). Kuhn mengatakan, filsafat ilmu sebaiknya berguru kepada sejarah
ilmu baru. Dengan begitu, filsafat ilmu bisa mendekati kenyataan ilmu dan
aktivitas ilmiah sesungguhnya. Konsep sentral Kuhn adalah paradigma.
Menurutnya, ilmu yang sudah matang
dikuasai oleh paradigma tunggal. Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam
masa ilmu normal. Paradigma akan diperiksa dan dipertanyakan orang manakala
seorang ilmuan dalam penelitiannya menjumpai gejala-gejala yang tidak bisa
diterangkan melalui teorinya. Ketika itu ilmuan dapat mengembangkan paradigma
tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing penelitian berikutnya.
Pendapat Kuhn mengimplikasikan bahwa ilmu tidak berkembang secara kumulatif dan
evolusioner, melainkan secara revolusioner. Dengan begitu, ilmu pengetahuan tak
lepas dari faktor ruang dan waktu. Inilah penyerangan Kuhn terhadap pendirian
positivistikrasionalistik.
Tampilnya Kuhn dengan gagasan revolusi
ilmu pengetahuan yang ditandai dengan adanya perubahan paradigma ternyata masih
menyisakan kritik bagi Imre Lakatos, pemikir asal Hungaria yang lahir tahun
1922. Imre Lakatos menawarkan “metodologi program riset ilmiah” sebagai
evaluasi dan kritik dari kekurangan yang ditinggalkan Kuhn. Tawaran Lakatos ini
mendapat momentumnya sejak tahun 1965 ketika ia mempertemukan gagasan Popper
dan Kuhn. “Metodologi Program Riset” ia maksudkan sebagai struktur metodologis
yang memberikan bimbingan bagi riset masa depan dengan cara positif dan
negatif. Dalam program riset ini terdapat aturanaturan metodologis yang disebut
dengan “heuristik”, yaitu kerangka kerja konseptual sebagai konsekwensi dari
bahasa.
Heuristik adalah suatu keharusan untuk
melakukan penemuanpenemuan melalui penalaran induktif dan percobaan-percobaan
sekaligus menghindarkan kesalahan dalam memecahkan masalah. Menurut Lakatos,
ada tiga elemen yang harus diketahui dalam kaitannya dengan program riset,
yaitu : Pertama, inti pokok (hard-core),
yakni asumsi dasar yang menjadi ciri program riset ilmiah. Inti pokok ini
dilindungi dari ancaman falsifikasi. Kedua, lingkaran pelindung (protective belt) yang terdiri dari
hipotesa-hipotesa bantu (auxiliary
hypothese) dalam kondisi-kondisi awal. Elemen kedua ini harus menahan
berbagai serangan, pengujian dan memperoleh penyesuaian, bahkan perubahan dan
pergantian untuk mempertahankan hard-core.
Dalam aturan metodologi riset, lingkaran pelindung ini disebut “heuristik positif”
yang berfungsi menerangkan dan meramalkan fenomena-fenomena nyata. Ketiga,
serangkaian teori (a series theory),
yaitu keterkaitan teori dimana teori berikutnya merupakan akibat dan klausul
bantu yang ditambahkan dari teori sebelumnya (Imre Lakatos, 1974:135).
Dengan demikian, bagi Lakatos, yang
harus dinilai ilmiah atau tidak ilmiah bukanlah teori tunggal, melainkan
rangkaian beberapa teori. Dalam konteks ini, Lakatos sepenuhnya mendukung
objektifitas Popper dan menghendaki program riset ilmiah menjadi pandangan
objektif dan mendistorsi refleksi terhadap pemikiran manusia, baik yang
menciptakan maupun yang memahami. Selanjutnya, kemunculan ilmu pengetahuan
biologi (yang mengelaborasi gejala kehidupan material) dan fisika (yang
mengelaborasi benda-benda mati) sebagai implikasi pola positivistik Comte yang
diterapkan pada ilmu-ilmu alam, yang kemudian disusul oleh program riset ilmiah
ala Lakatos, ternyata tidak serta merta memberikan kepuasan bagi para ilmuan,
sosiolog, dan filosof dalam mengembangkan pengetahuan. Faktanya positivisme
ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan Auguste Comte menyisakan persoalan serius
terkait dengan hilangnya peran subjek. Maka muncullah upaya metodologis dengan
tujuan mengembalikan peran subjek ke dalam proses keilmuan itu sendiri.
Setidaknya ada tiga pendekatan yang sama-sama menawarkan metodologi baru yang
lebih memposisikan subyek yang menafsirkan obyeknya sebagai bagian yang tak
terpisahkan dalam proses keilmuan, yaitu fenomenologi, hermeneutika, dan teori
kritis.
Yang disebut pertama, fenomenologi, merupakan aliran
epistemologi yang dipopulerkan oleh Edmund Husserl (1859-1938). Sebagai sebuah
tawaran epistemologi, fenomenologi membangun konsepnya pada dua prinsip, yakni
prinsip epoche-eidetic vision dan
konsep dunia-kehidupan (Dorion Cairns, 1976:231).
Metode epoche merupakan langkah
pertama, untuk mencapai esensi fenomena dengan menunda putusan lebih dahulu.
Langkah kedua, Husserl menyebutnya dengan eidetic vision atau membuat ide.
Artinya, menyaring fenomena untuk sampai ke eidetos-nya, sampai ke intisarinya,
atau sejatinya (wesen). Hasil dari reduksi disebut wesenschau, artinya sampai
pada hakikatnya. Dengan demikian, fenomenologi berupaya menangkap fenomena
sebagaimana adanya (to show itself)
atau menurut penampakkannya sendiri (veils
itself). Kemudian konsep dunia-kehidupan dipahami oleh Husserl dengan dunia
sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan
komunikasi antarsubyek.
Kedua,
Hermeneutika. Metodologi ini dikembangkan oleh Friederich Schleiermacher
(1768-1834), Wilhem Dilthey (1838-1911), Gadamaer (1900-). Pada mulanya
hermeneutika merupakan teori memahami teks-tulis atau kitab suci, dan kemudian
berkembang menjadi teori memahami teks kehidupan sosial. Josep Bleicher
mengembangkan hermeneutika menjadi tiga bagian, yaitu hermeneutika sebagai
metodologi, hermeneutika sebagai sebuah filsafat dan hermeneutika sebagai
kritik. Sementara itu Richard E. Palmer membaginya menjadi enam bagian, yaitu
hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci, metode filologi, pemahaman
lingistik, fondasi dan ilmu sosial-budaya, fenomenologi dasein dan hermeneutika
sebagai pendekatan dalam ilmu sosial-budaya.
Ketiga, Teori Kritis. Sebagai paradigma keilmuan, teori
yang dilahirkan oleh para filosof yang tergabung dalam mazhab Frankfrut
(Horkheimer, Adorno, dan Mascuse) mengalami perkembangan monumental di tangan
Jurgen Habermas. Semula aliran mazhab Frankfurt ini mengkritisi pola
liberalisme-kapitalisme masyarakat Barat modern, tetapi kehadiran Habermas
disinyalir dapat memberi warna baru sehingga lebih dinamis. Semua teori sosial
positivistis, teori Marxis, termasuk mazhab Frankfurt sama-sama dibangun atas
dasar paradigma kerja‖ sehingga memperlakukan masyarakat sebagai objek alamiah.
Habermas kemudian menekankan peranan kesadaran subjek dalam mengubah
struktur-struktur objektif, dan karenanya analisisnya dipusatkan pada fenomena
superstruktur (kebudayaan, ekonomi, agama, politik dan seterusnya), khususnya
rasionalitas atau ideologi yang menggerakkannya.
Perspektif
baru yang dikembangkan oleh Habermas ini berkembang sangat pesat terutama di
Prancis lewat Gaston Bachelard (1884-1962) dan Ferdinand Gonseth (1890-1976).
Bachelard, misalnya, melihat pengetahuan sebagai sebuah proses menjadi yang
memberi ruang bagi kerja para peneliti dan kritikus. Sejarah ilmu, kata
Bachelar, adalah sejarah kesalahan ilmu (târikh al-ilm huwa târikh akhta‟ al
ilm) (Richard E. Palmer). Oleh karenanya, kerja pemikiran adalah berpikir
tentang realitas yang termasuk di dalamnya membaca fakta-fakta yang kabur atau
disamarkan. Teori ini dipakai Al-Jâbirî dalam membaca pemikiran Arab-Islam dari
sisi yang dikatakan dan tidak dikatakan oleh teks. Sementara itu Ferdinand
Gonseth, seorang ilmuan matematik Swiss menerapkan sifat revisibilite (al
qâbiliyyah li al murâja‟ah) bagi pengetahuan. Ini berarti pengetahuan harus
tunduk kepada eksperimen, selalu diuji dan direvisi. Oleh karena pengetahuan
selalu mengalami penafsiran maka kerja para ilmuan tidak mungkin berangkat dari
vacuum. Inilah ilham yang mendasari para filosof Arab modern, seperti Muhammad
Âbid Al-Jâbirî, Mohammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd dan lain-lain.
Dari uraian sejarah epistemologi Barat, dari pra-Socrates hingga muculnya teori kritis yang dikembangkan Bachelard dan Gonseth, penyusun makalah ini, saya, ingin menggambarkan bahwa epistemologi yang dibangun oleh para pemikir kontemporer, termasuk pemikir Arab hari ini terinspirasi oleh aliran-aliran epistemologi sebelumnya.
2.7 Teori Komunikasi
Hypodermic
Needly Theory
(Jason dan Anne Hill, 1997), Teori yang mengasumsikan bahwa para pengelola
media dianggap lebih pintar dibandingkan audience. Akibatnya, audience dapat
dikelabui dengan sedemikian rupa dari apa yang disiarkannya. Teori ini
mengasumsikan media massa mempunyai pemikiran bahwa audience bisa ditundukkan
atau bisa dibentuk dengan cara apapun yang dkehendaki oleh media. (jarum
hipodermik).
Cultivation
Theory (Prof.
George Gerbner), Teori yang memfokuskan kajiannya pada studi televisi dan
audience yang mana televisi menjadi media atau alat utama dimana persepsi yang
akan terbangun di benak penonton tentang masyarakat dan budaya sangat di
tentukan oleh televisi.
Media
Equation Theory
(Byron Reeves dan Clifford), Teori yang mengasumsi bahwa media diibaratkan
manusia. Teori ini memperhatikan bahwa media juga dapat diajak berbicara. Media
bisa menjadi lawan bicara individu seperti dalam komunikasi interpersonal yang
melibatkan dua orang dalam keadaan face to face. Misalnya, kita berbicara
(meminta pengolahan data) dengan computer seolah-olah computer itu manusia.
Kita juga menggunakan media lain untuk berkomunikasi. Bahkan kita berperilaku
secara tidak sadar seolah-olah media itu adalah manusia.
Spiral
Of Silence Theory / Teori Spiral Keheningan (Elizabet Noelle-Neumann), Teori yang menyembunyikan
pendapat dan pandangannya ketika berada dalam kelompok mayoritas. Yang mana
alasannya agar diterima dalam kelompok mayoritas,
Tecnological
Determinisme Theory
(Marshall McLuhan, 1962), Teknologi yang membentuk individu bagaimana cara
berpikir, berperilaku dalam masyarakat, dan teknologi tersebut akhirnya
mengarahkan manusia untuk bergerak dari satu abad teknologi ke abad teknologi
yang lain.
Diffusion
of Innovation Theory
(Roger dan Shoemaker, 1971), Teori yang mana adanya inovasi(penemuan), lalu
disebarkan (difusi) melalui media massa akan kuat memengaruhi massa untuk
mengikutinya. peran pemimpin opini dalam memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat.
Artinya, media massa mempunyai pengaruh yang kuat dalam menyebarkan penemuan
baru.
Uses and
Gratifications Theory (Herbert
Blumer dan Elihu Katz, 1974), Pengguna media memainkan peran aktif untuk
memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media adalah
pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha untuk mencari
sumber media yang paling baik di dalam usaha memenuhi kebutuhannya. Artinya,
teori uses and gratifications mengasumsikan bahwa pengguna mempunyai pilihan
alternative untuk memuaskan kebutuhannya.
Agenda Setting Theory (Max McCombs dan Shaw, (1973), Secara singkat teori penyusunan agenda ini mengatakan media tidak selalu berhasil memberitahu apa yang kita pikir, tetapi media tersebut benar-benar berhasil memberitahu kita berpikir tentang apa. Media massa mengarahkan kita pada apa yang harus kita lakukan. Media memberikan agenda-agenda melalui pemberitaannya, sedangkan masyarakat akan mengikutinya menurut asumsi teori ini media mempunyai kemampuan untuk menyeleksi dan mengarahkan perhatian masyarakat pada gagasan atau peristiwa tertentu. Media mengatakan pada kita apa yang penting dan apa yang tidak penting. Media pun mengatur apa yang harus kita lihat, tokoh siapa yang harus kita dukung (apa yang diberitakan oleh media, maka pembicaraan masyarakat juga sama seperti yang diagendakan media.
2.8
Proses Pembentukan, Pengenalan dan Penyelesaian Persoalan
Pada dasarnya riset dapat
dikatagorikan menjadi dua jenis:
1.
Basic
research /
penelitian dasar mengembangkan suatu teori atau konsep dalam bidang tertentu,
dan
2.
Applied
research /
penelitian terapan berkaitan dengan suatu penerapan teori untuk mendapatkan
perbandingan, hasil kinerja atau menghasilkan suatu produk yang membantu manusia.
Dari kedua jenis riset
tersebut, adalah penting untuk menentukan permasalahan yang akan dibahas dan
diselesaikan. Permasalahan tersebut biasanya berupa pertanyaaan yang jawabannya
memberikan hal baru yang berbeda. Dan permasalahan tersebut mengembangkan
pengetahuan tentang sesuatu misalnya cara berpikir yang baru tentang sesuatu,
kemungkinan baru dalam penerapan atau membuka jalan bagi penelitian
selanjutnya.
Permasalahan adalah
pangkal (titik tolak) penelitian, tidak akan ada riset kalau tidak ada masalah.
Intinya, permasalahan adalah segala sesuatu yang dihadapi atau dirasakan oleh
seseorang yang menimbulkan kebutuhan untuk dibahas dan dicari jawabannya.
Sumber permasalahan adalah sesuatu yang objektif, akan tetapi permasalahan
selalu bersifat subjektif. Kejadian yang sama dapat menimbulkan persoalan yang
berbeda dalam diri pengamat yang berbeda. Bagan alir di atas menggambarkan
proses pembentukan, pengenalan dan penyelesaian persoalan. Proses bersifat
mundur, berarti kalau perlu tiap langkah dijalani berulang sampai diperoleh
cara pemecahan yang dapat diterima (notohadiprawiro 2006).
2.9 Metode Utama Ilmu Komunikasi
1) Metode
Induktif
Metode merupakan suatu
prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang
sistematis. Pada dasarnya di dalam ilmu pengetahuan dalam bidang dan disiplin
apa pun, baik ilmu-ilmu humaniora, sosial maupun ilmu-ilmu alam masingmasing
menggunakan metode yang sama. Jika ada perbedaan, hal itu tergantung pada
jenis, sifat, dan bentuk objek material dan objek formal yang tercakup di
dalamnya pendekatan (approach), sudut pandang (points of view), tujuan, dan
ruang lingkup (scope) masing-masing disiplin itu.
Kata metode berasal
dari kata Yunani methodos, sambungan kata depan meta (menuju, melalui,
mengikuti, sesudah) dan kata benda hodos (jalan, perjalanan, cara, arah) kata
methodos sendiri lalu berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah,
uraian ilmiah. Metode ialah cara bertindak menurut sistem aturan tertentu
(Anton Bakker, 1984 : 10). Jadi, metode bisa dirumuskan suatu proses atau
prosedur yang sistematik berdasarkan prinsip dan teknik ilmiah yang dipakai
oleh suatu disiplin (bidang studi) untuk mencapai suatu tujuan. Adapun
metodologi adalah pengkajian mengenai model atau bentuk metode, aturan yang harus
dipakai dalam kegiatan ilmu pengetahuan. Jika dibandingkan antara metode dan
metodologi, maka metodologi lebih bersifat umum dan metode bersifat khusus
(Suparlan Suhartono, 25 : 94-95).
Induksi yaitu suatu
metode yang menyimpulkan pernyataan pernyataan hasil observasi dalam suatu
pernyataan yang lebih umum dan menurut suatu pandangan yang luas diterima,
ilmu-ilrnu empiris ditandai oleh metode induktif, disebut induktif bila
bertolak dari pernyataan tunggal seperti gambaran mengenai hasil pengamatan dan
penelitian orang sampai pada pernyataan pernyataan universal. David Hume telah
membangkitkan pertanyaan mengenai induksi yang membingungkan para filosof dari
zamannya sampai sekarang. Menurut Hume, pernyataan yang berda observasi tunggal
betapapun besar jumlahnya, secara logis tak dapat menghasilkan suatu pernyataan
umum yang tak terbatas. dalam induksi setelah diperoleh pengetahuan, maka akan
dipergunakan ha-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam
dipanasi juga akan mengembang, bertotak dari teori ini kita tahu bahwa logam
lain yang kalau dipanasi juga akan mengambang. Dari contoh di atas bisa
diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang disebut juga
dengn pengetahuan sintetik (Bakhtiar, 2004).
Metode induksi adalah
suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah
dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat
khusus, kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum. Apabila orang
menerapkan cara penalaran yang bersifat induktif berarti orang bergerak dari
bawah ke atas. Artinya, dalam hal ini orang mengawali suatu penalaran dengan
memberikan contoh-contoh tentang peristiwa-peristiwa khusus yang sejenis
kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum. (Sudarto, 2002). Telah
dijelaskan diatas bahwa metode ini merupakan kesimpulan umum berdasarkan
data-data khusus yang terdiri atas langkah-langkah dalam wiramihardja (2007:
121-122) sebagai berikut :
1)
Perumusan
hipotesis, Sebuah hipotesis merupakan sebuah jawaban sementara terhadap masalah
yng diselidiki. Kebenaran hipotesis tersebut harus diuji dalam penelitian.
Hendaknya, hipotesis ini berdasarkan perumusan anggapan dasar, yaitu pendapat
yang mendasari hipotesis itu dipandang benar tanpa pembuktian.
2)
Pengumpulan
data, Data dikumpulkan atas dasar hipotesis. Hasil penyelidikan bergantung pada
ketertiban pengumupulan data ini. Pengumupulan data dilakukan berdasarkan
observasi dan eksperimen.
3)
Klasifikasi
data, Data harus diklasifikasikan untuk memungkinkan ditariknya kesimpulan.
Generalisasi, Inilah yang dimaksud dengan kesimpulan, yaitu suatu pendapat yang
bersifat umum, kerap kali disebut hukum atau kaidah. Metode ini oleh Windelband
disebut nomotetis. Metode berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam
berpikir dengan bertolak dari hal-hal yang bersifat khusus untuk menentukan
kesimpulan yang bersifat umum. Dalam penalaran induktif ini, kesimpulan ditarik
dari sekumpulan fakta peristiwa atau pernyataan yang bersifat umum.
Contoh:
Bukti 1: logam 1 apabila dipanaskan
akan memuai
Bukti 2: logam 2 apabila dipanaskan
akan memuai
Bukti 3: logam 3 apabila dipanaskan
akan memuai
Kesimpulan: Semua logam apabila
dipanaskan akan memuai.
2) Metode
Deduktif
Metode deduksi adalah
suatu cara yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah dengan bertitik
tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yag bersifat umum, kemudian
menarik kesimpulan yang bersifat khusus. Apabila orang menerapkan cara
penalaran yang bersifat deduktif berarti orang bergerak dari atas menuju ke bawah.
Artinya, sebagai langkah pertama orang menentukan satu sikap tertentu dalam
menghadapi masalah tertentu, dan berdasarkan aatas penentuan sikap tadi
kemudian mengambil kesimpulan dalam tingkatan yang lebih rendah.
Metode deduktif adalah
cara analisis dari kesimpulan umum atau generalisasi yang diuraikan menjadi
contoh-contoh kongkrit atau fakta-fakta untuk menjelaskan kesimpulan atau
jeneralisasi tersebut. Misalnya: petani selalu rugu dalam mengembangkan
usahanya. Kemudian dijabarkan fakta-fakta tentang angka-angka produksi
dibandingkan modal usaha, dan sebagainya. Metode Deduktif digunakan dalam
sebuah penelitian disaat penelitian berangkat dari sebuah teori yang kemudian
di buktikan dengan pencarian fakta. Contoh: Penelitian bahasa Arab
kebanyakannya berangkat dari kaidah-kaidah bahasa Arab kemudian dicarilah
fakta-fakta yang terdapat dalam sumber data, dalam hal ini sumber datanya
al-Qur’an.
Penalaran deduktif
berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir
pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum. Dalam hal ini
penalaran induktif merupakan kebalikan dari penalaran deduktif. Untuk turun ke
lapangan dan melakukan penelitian tidak harus memliki konsep secara canggih
tetapi cukup mengamati lapangan dan dari pengamatan lapangan tersebut dapat
ditarik generalisasi dari suatu gejala. Dalam konteks ini, teori bukan
merupakan persyaratan mutlak tetapi kecermatan dalam menangkap gejala dan
memahami gejala merupakan kunci sukses untuk dapat mendiskripsikan gejala dan
melakukan generalisasi. Contoh : Masyarakat Indonesia konsumtif (umum)
dikarenakan adanya perubahan arti sebuah kesuksesan (khusus) dan kegiatan
imitasi (khusus) dari media-media hiburan yang menampilkan gaya hidup konsumtif
sebagai prestasi sosial dan penanda status sosial.
Metode deduktif adalah
suatu metode yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya
dihubungkan dalam bagian-bagian yang khusus. Hal ini adalah suatu sistem
penyusunan fakta yang telah diketahui sebelumnya guna mencapai suatu kesimpulan
yang logis. Dalam penalaran deduktif, dilakukan melalui serangkaian pernyataan
yang disebut silogisme dan terdiri atas beberapa unsur yaitu:
1. Dasar
pemikiran utama (premis mayor)
2. Dasar
pemikiran kedua (premis minor)
3. Kesimpulan
Contoh:
Premis mayor : Semua siswa SMA
kelas X wajib mengikuti pelajaran Sosiologi.
Premis minor : Bob adalah siswa
kelas X SMA.
Kesimpulan : Bob wajib mengikuti
jam pelajaran Sosiologi.
Metode ini diawali dari
pembentukan teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan
operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu
harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya
dilakukan penelitian di lapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif
tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala.
Penalaran deduktif tergantung pada premisnya. Artinya, premis yang salah
mungkin akan membawa kita kepada hasil yang salah, dan premis yang tidak tepat
juga akan menghasilkan kesimpulan yang tidak tepat.
Penarikan secara
langsung ditarik dari 1 premis. Penarikan secara tidak langsung ditarik dari 2
premis. Premis pertama yang bersifat umum sedangkan premis kedua bersifat
khusus. Jenis penalaran deduktif yang menarik kesimpulan secara tidak langsung
yaitu: (1)Silogisme kategorial, (2)Silogisme hipotesis, (3)Silogisme
alternative, (4)Entimen.
1)
Silogisme
Kategorial yaitu Silogisme yang terjadi dari tiga proposisi:
·
Premis
umum: Premis Mayor (My).
·
Premis
khusus: remis Minor (Mn).
·
Premis
kesimpulan: premis kesimpulan (K), dalam simpulan terdapat subjek dan predikat.
Subjek simpulan disebut term mayor, dan predikat simpulan disebut term minor.
Contoh silogisme kategorial:
My :
semua mahluk hidup bisa bernafas.
Mn :
kucing adalah mahluk hidup.
K : kucing bisa bernafas.
2)
Silogisme
hipotesis yaitu silogisme yang terdiri atas premis mayor yang berproposisi
konditional hipotesis. Konditional hipotesis yaitu: bila premis minornya
membenarkan anteseden, simpulannya membenarkan konsekuen. Bila minornya menolak
anteseden, simpulannya juga menolak konsekuen.
Contoh silogisme hipotesis:
My :
jika tidak ada uang manusia sangat kesulitan tuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Mn :
Uang tidak ada.
K : jadi, manusia akan kesulitan tuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
3)
Silogisme
Alternatif yaitu silogisme yang terdiri atas premis mayor berupa proposisi.
Proposisi alternatif yaitu bila premis minornya membenarkan salah satu
alternatifnya. Simpulannya akan menolak alternatif yang lain.
Contoh silogisme alternatif:
My :
Kucing berada di dalam rumah atau di luar rumah.
Mn :
Kucing berada di luar rumah.
K : Jadi, kucing tidak berada di dalam rumah.
4)
Entimen,
silogisme ini jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tulisan
maupun lisan. Yang dikemukakan hanya premis minor dan simpulan.
Contoh Entimen:
·
Dia
naik jabatan karena ia rajin bekerja.
· Anda naik gaji karena anda berhak menerima kenaikan jabatan itu.
Manfaat Mempelajari
Sejarah Perkembangan Ilmu Komunikasi. Mempelajari sejarah perkembangan ilmu
komunikasi dapat memberikan beberapa manfaat diantaranya adalah :
·
Kita
memahami perjalanan sejarah perkembangan ilmu komunikasi yang berakar dari retorika
hingga publisistik.
·
Kita
memahami akar ilmu komunikasi yaitu ilmu pernyataan manusia atau retorika
beserta perkembangannya.
·
Kita
memahami ilmu persuratkabaran yang berakar dari retorika beserta
perkembangannya.
·
Kita
memahami ilmu publisistik yang berakar dari ilmu persuratkabaran beserta
perkembangannya.
·
Kita
memahami ilmu komunikasi yang juga berakar dari ilmu persuratkabaran beserta
perkembangannya.
·
Kita
memahami cakupan ilmu komunikasi yang meliputi konteks komunikasi, bidang
komunikasi, sifat komunikasi, dan tujuan komunikasi.
Demikianlah ulasan
singkat tentang sejarah perkembangan ilmu komunikasi yang berawal dari masa
Yunani dan Romawi hingga kini. Semoga memberikan tambahan wawasan dan
pengetahuan tentang ilmu komunikasi.
Elemen-elemen
Komunikasi, seperti yang sudah dikatakan di awal bahwa komunikasi memiliki
elemen-elemen yang penting satu sama lain bahkan sampai membuat mereka memiliki
sifat terikat. Berikut ini elemen-elemen komunikasi.
1. Sumber (Source), Menurut Shannon,
elemen sumber seperti namanya merupakan sumber dari segala informasi yang
didapatkan.
2. Pengirim (Sender) Menurut Shannon,
elemen kedua merupakan pihak yang berperan sebagai penyebar atau juga bisa
disebut pemancar kepada penerima.
3. Saluran (Channel), Menurut Shannon,
saluran berperan sebagai perantara yang digunakan untuk mengirim sinyal
sehingga dapat membantu pengirim dalam memancarkan pesannya.
4. Penerima (Receiver), Menurut
Shannon, penerima merupakan pihak yang melakukan kegiatan yang berkebalikan
dengan pengirim.
5. Tujuan (Destination), Menurut
Shannon, tujuan memiliki arti untuk siapa pesan tersebut dipancarkan oleh
pemancar ke penerima.
6. Pesan (Message), Suatu hal yang
dikirimkan oleh pemancar atau pengirim kepada penerima, biasanya isinya dapat
berbentuk fisik, tulisan, rekaman, ataupun berbentuk visual verbal yang akan
diterima oleh penerimanya.
7. Tanggapan (Feedback), Berupa balasan yang didapatkan oleh pengirim dari penerima yang sudah menerima pesan dari pengirim.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari uraian di atas maka, dapat
disimpulkan bahwa tidak kurang dari 20 abad lamanya para filosof tak
henti-hentinya memikirkan tentang realitas, mulai dari Thales sampai Thomas
Khun. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dengan seabreg problem yang
mengitarinya selama itu pula berbagai temuan mewarnai percaturan dunia, mulai
dari „arche‟nya filosof pra-Socrates, definisi Socrates, idealisme
Plato, hylemorfisisme Aristoteles, emanasi Plotinus hingga persoalan teologi
para filosof abad pertengahan. Temuan-temuan ini telah mendorong filosof Barat
modern, Rene Descartes untuk memikirkan bagaimana manusia mendapatkan
pengetahuan? Inilah yang dimaksud dengan persoalan-persoalan epistemologis.
Pengetahuan yang didasarkan kepada
kebenaran apriorirasio ini mendapat sanggahan dari mazhab empirisme John Locke,
yang menurutnya seluruh pengetahuan bersumber dari pengalaman, bukan dari
ide-ide bawaan apriori. Gagasan epistemologi berikutnya adalah sintesa
rasionalisme dan empirisme oleh Imanuel Kant dengan memunculkan phenomena dan
noumena. Setelah Kant, muncul pemikiran epistemologi positivistik Auguste Comte
dengan menggabungkan deduksi rasional dan induksi empirik sebagai satu-satunya
paradigma yang dapat dipegang untuk menghasilkan pengetahuan yang benar.
Dominasi epistemologi positivistik ini mencapai kematangannya di tangan Vienna Circle (lingkaran Wina), yang melahirkan pandangan baru yang disebut positivisme logis. Mereka memberi batas pada kenyataan yang bermakna (meaningful) dan tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kemungkinan untuk diverifikasi. Gagasan para sarjana Wina tersebut kemudian digantikan oleh Karl Raimund Popper melalui pembedaan ungkapan “ilmiah” dan “tidak ilmiah”.
Di sini kriteria ilmiah dan tidak ilmiah adalah falsifibilitas. Setelah Popper, epistemologi mengalami perkembangan baru, dengan munculnya Thomas Kuhn yang mengusung paradigma. Menurutnya, ilmu yang sudah matang dikuasai oleh paradigma tunggal yang membimbing kegiatan ilmiah. Ilmu tidak berkembang secara kumulatif dan evolusioner, melainkan secara revolusioner. Tampilnya Kuhn dengan gagasan revolusi ilmu pengetahuan yang ditandai dengan adanya perubahan paradigma ternyata masih menyisakan kritik bagi Imre Lakatos, yang menawarkan “metodologi program riset ilmiah” sebagai evaluasi dari kekurangan yang ditinggalkan Kuhn. Riset ilmiah ala Lakatos, ternyata tidak serta merta memberikan kepuasan bagi para ilmuan, sosiolog, dan filosof dalam mengembangkan pengetahuan. Faktanya positivisme ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan Comte menyisakan persoalan serius terkait dengan hilangnya peran subjek. Inilah yang kemudian melatarbelakangi lahirnya filsafat epistemologi yang dikembangkan Edmund Husserl melalui fenomenologi, Habermas melalui hermeneutika, dan Ferdinand Gonseth melalui teori kritis.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin.1992. Aspek Epistemologis Filsafat Islam, dalam
Filsafat Islam: Kajian Ontologis,
Epistemologis, Aksiologis,
Historis, Prospektif, ed. Irma Fatimah. Yogyakarta
: Lembaga
Studi Filsafat Islam [LESFI].
Al Ghazali, Abu Hamid.
Ihya Ulumuddin III, Isa Al Baby Al Halabi.
A. M. Saefuddin et.al. 1998. Desekularisasi Pemikiran: landasan
Islamisasi, Cet. IV, Bandung : Mizan.
Arikunto, Suharsimi.
2012. Prosedur Penelitian, Jakarta :
Rineka Cipta.
C. Verhaak. 1991. Filsafat Ilmu Pengetahuan, Telaah Atas
Cara Kerja Ilmu,
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
D. Aiken, Henry. 1974. The Age of Ideology, New York : The New
American
Library of World Literature Inc., hlm.
61.
D. W. Hamlyin. 1972. “Epistemology,” in Paul Edwards, ed., The
Encyclopedia of Philosophy, vol., III,
New York : Macmillan
Publishing Co., Inc., and The Free Press.
Fu‘ad Farid Ismail dan Abdul Hamid
Mutawalli. 2003. Cepat Menguasai
Ilmu Filsafat, Yogyakarta : IRCiSoD.
Hadi, P. Hardono. 1994. Epistemologi, saduran dari Kenneth T.
Gallagher,
“The Philosophy of Knowledge”,
Yogyakarta : Kanisius.
H. Titus, Harold, dkk.
1984. Persoalan-Persoalan Filsafat (trj).
Jakarta :
Bulan Bintang.
Iman Santosa, Nyong Eka Teguh.
2015. Fenomena Pemikiran Islam,
Sidoarjo : Uru Anna Books.
Imre Lakatos dan Alan
Musgrave (ed.). 1957. Critisme and the
Growth of
Knowledge,
Cambridge : Cambridge University Press.
L. O. Kattsoff. 1987. Pengantar Filsafat, (tjm). Yogyakarta :
Tiara Wacana.
M. A. Brouwer. 1986. Sejarah Filsafat Barat Modern, Bandung :
Alumni,
Bertrand Russel, History of Western
Philosophy, London :
George Allan, 1945, hlm. 94-95.
M. Hatta. 1986. Alam Pikiran
Yunani, Jakarta : Tintamas.
Miska Muhammad Amin. 1983. Epistemologi Islam : Pengantar Filsafat
Pengetahuan Islam, Jakarta : UI Press.
M. J. Langiveld. 1979. Menuju
Pemikiran Filsafat, Jakarta : Pustaka
Sarjana.
Muhammad Baqir Ash-Shadr. 1999.
Falsafatuna terhadap Belbagai Aliran
Filsafat Dunia, Cet. VII, Bandung : Mizan.
Palmer, Richard E. 1969. Hermeneutics : Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and
Gadamer, Eavanston :
Nortwestern University Press, hlm. 35.
Paul Edward (Ed.). 1972. The Encyclopedia of Philoshophy, New
York-
London : Mac Millan Publishing Co. Inc.
Robert Ackermann. 1965. Theories of Knowledge : A Critical
Introduction,
New York : McGraw-Hill Company.
Russel, Bertrand. 1961. History of Western Philosophy and Its
Connection
with Political and Social Circumstances
from the Earliest Times
to the Present Day, London : Geoege
Allen and Unwin Ltd.
Saefullah, Chatib.
1995. Pemikiran Seyyed Hossein Nasr Tentang
Epistemologi, Tesis, Jakarta : Magistes
PPs IAIN Jakarta, , hlm.
59.
Soerjono Soekanto dan
Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum
Normatif
(Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta : Rajawali Pers.
Sumantri, Jujun S. 1995. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas
Filsafat UGM. 1996. Filsafat Ilmu,
Yogyakarta : Liberty.
Thomas Mautner (ed.).
2000. The Penguin Dictionary of
Philosophy,
London : Penguin Book Ltd.
Will Durant. 1996. Qishah al-Falsafah Min Aflathon ilâ John Dewey,
alih
bahasa Fathullah Muhammad Al-Musya‘sya‘,
Beirut : Al-
Ma‘ârif, tt. K. Bertens, Filsafat
Barat Abad XX : Prancis, Jakarta
: Gramedia.
W. Wildelband. 1956. History of Ancient Philosophy, trans.,
Herbert Ernest
Cushman, New York : Dover Publication Inc.
Komentar
Posting Komentar